SEJARAH FARMASI KLINIK, PENGERTIAN DAN ARTI PENTING FARMASI KLINIK

Brebes, Jawa Tengah


MAKALAH FARMASI KLINIK
dan
INTERPRETASI DATA KLINIK

PENGANTAR dan PENDAHULUAN FARMASI KLINIK
(SEJARAH FARMASI KLINIK, PENGERTIAN DAN ARTI PENTING FARMASI KLINIK)



 








 Disusun Oleh :   
1. Ajeng Widiastuti
2. Alfi Nuri
3. Dian Hari Noviyanti
4. Nina Setyaningsih
5. Siti Nur Asiah


PROGRAM STUDI S1 FARMASI
STIKES BHAKTI MANDALA HUSADA SLAWI
2017



KATA PENGANTAR

Puji syukur kehadirat Allah SWT yang telah melimpahkan rahmat dan karunia-Nya sehingga dapat menyelesaikan makalah ini dengan baik dan tepat pada waktunya. Dalam penyusunan makalah mungkin ada sedikit hambatan. Namun berkat bantuan dukungan dari teman-teman serta bimbingan dari dosen pembimbing, sehingga kami dapat menyelasikan makalah ini dengan baik.
Dengan adanya makalah ini, diharapakan dapat membantu proses pembelajaran dan menambah pengetahuan bagi para pembaca. Penulis juga tidak lupa mengucapkan terima kasih kepada semua pihak atas bantuan, dukungan dan doanya.
Semoga makalah ini dapat bermanfaat bagi semua pihak yang membaca makalah ini dan dapat mengetahui tentang sejarah kesehatan dunia dan Indonesia. Makalah ini mungkin kurang sempurna, untuk itu kami mengharap kritik dan saran untuk menyempurnakan makalah ini.


Slawi, Maret 2017



DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL.............................................................................................        i
KATA PENGANTAR..........................................................................................        ii
DAFTAR ISI..........................................................................................................        iii
BAB I PENDAHULUAN.....................................................................................        1
1.1 Latar Belakang......................................................................................        1
1.2 Rumusan Masalah.................................................................................        2
1.3 Tujuan Penulisan...................................................................................        2
BAB II PEMBAHASAN.......................................................................................        3
2.1 Pengertian Farmasi Klinik.....................................................................        3
2.2 Tujuan Farmasi Klinik...........................................................................        4
2.3 Sejarah Farmasi Klinik..........................................................................        4
2.4 Farmasi Klinik di Berbagai Belahan Dunia..........................................        8
2.5 Macam-macam Aktivitas Farmasi Klinik..............................................        11
2.6 Pelayanan Farmasi Klinik.....................................................................        12
BAB III PENUTUP...............................................................................................        21
3.1 Kesimpulan...........................................................................................        21
3.2 Saran.....................................................................................................        21
DAFTAR PUSTAKA...........................................................................................        22










BAB I
PENDAHULUAN

1.1   Latar Belakang
Istilah farmasi klinik mulai muncul pada tahun 1960an di Amerika, dengan penekanan pada fungsi farmasis yang bekerja langsung bersentuhan dengan pasien. Saat itu farmasi klinik merupakan suatu disiplin ilmu dan profesi yang relatif baru, di mana munculnya disiplin ini berawal dari ketidakpuasan atas norma praktek pelayanan kesehatan pada saat itu dan adanya kebutuhan yang meningkat terhadap tenaga kesehatan profesional yang memiliki pengetahuan komprehensif mengenai pengobatan. Gerakan munculnya farmasi klinik dimulai dari University of Michigan dan University of Kentucky pada tahun 1960-an (Miller,1981).
Sejak masa Hipocrates (460-370 SM) yang dikenal sebagai “Bapak Ilmu Kedokteran”, belum dikenal adanya profesi Farmasi. Seorang dokter yang mendignosis penyakit, juga sekaligus merupakan seorang “Apoteker” yang menyiapkan obat. Semakin lama masalah penyediaan obat semakin rumit, baik formula maupun pembuatannya, sehingga dibutuhkan adanya suatu keahlian tersendiri.
Pada tahun 1240 M, Raja Jerman Frederick II memerintahkan pemisahan secara resmi antara Farmasi dan Kedokteran dalam dekritnya yang terkenal “Two Silices”. Dari sejarah ini, satu hal yang perlu direnungkan adalah bahwa akar ilmu farmasi dan ilmu kedokteran adalah sama.
Dampak revolusi industri merambah dunia farmasi dengan timbulnya industri-industri obat, sehingga terpisahlah kegiatan farmasi di bidang industri obat dan di bidang “penyedia/peracik” obat ( apotek ). Dalam hal ini keahlian kefarmasian jauh lebih dibutuhkan di sebuah industri farmasi dari pada apotek. Dapat dikatakan bahwa farmasi identik dengan teknologi pembuatan obat.
Buku Pharmaceutical handbook menyatakan bahwa farmasi merupakan bidang yang menyangkut semua aspek obat, meliputi : isolasi/sintesis, pembuatan, pengendalian, distribusi dan penggunaan.
Sedangkan Herfindal dalam bukunya “Clinical Pharmacy and Therapeutics” (1992) menyatakan bahwa Pharmacist harus memberikan “Therapeutic Judgement” dari pada hanya sebagai sumber informasi obat.

1.2   Rumusan Masalahm
1.    Apa pengertian farmasi klinik ?
2.    Apa saja tujuan dari farmasi klinik?
3.    Bagaimana sejarah farmasi klinik ?
4.    Bagaimana farmasi klinik di berbagai belahan dunia?
5.    Apa saja aktivitas farmasi klinik ?

1.3    Tujuan Penulisan
1.      Mengetahui pengertian farmasi klinik
2.      Mengetahui tujuan dari farmasi klinik
3.      Mengetahui bagaimana sejarah farmasi klinik
4.      Mengetahui farmasi klinik di berbagai belahan dunia
5.      Mengtahui apa saja aktivitas farmasi klinik



BAB II
PEMBAHASAN

2.1   Pengertian Farmasi Klinik
Farmasi klinik merupakan ilmu kefarmasian yang relatif baru berkembang di Indonesia. Istilah farmasi klinik mulai muncul pada tahun 1960-an di Amerika, yaitu suatu disiplin ilmu farmasi yang menekankan fungsi farmasis untuk memberikan asuhan kefarmasian (Pharmaceutical care) kepada pasien. Bertujuan untuk meningkatkan outcome pengobatan. Secara filosofis, tujuan farmasi klinik adalah untuk memaksimalkan efek terapi, meminimalkan resiko, meminimalkan biaya pengobatan, serta menghormati pilihan pasien. Saat ini disiplin ilmu tersebut semakin dibutuhkan dengan adanya paradigma baru tentang layanan kefarmasian yang berorientasi pada pasien. Tenaga farmasi yang bekerja di rumah sakit dan komunitas (apotek, puskesmas, klinik, balai pengobatan dan dimanapun terjadi peresepan ataupun penggunaan obat), harus memiliki kompetensi yang dapat mendukung pelayanan farmasi klinik yang berkualitas.
Clinical Resources and Audit Group (1996) mendefinisikan farmasi klinik sebagai :
“ A discipline concerned with the application of pharmaceutical expertise to help maximise drug efficacy and minimize drug toxicity in individual patients”. 
Menurut Siregar (2004) farmasi klinik didefinisikan sebagai suatu keahlian khas ilmu kesehatan yang bertanggung jawab  untuk memastikan penggunaan obat yang aman dan sesuai dengan kebutuhan pasien, melalui penerapan pengetahuan dan berbagai fungsi terspesialisasi dalam perawatan pasien yang memerlukan pendidikan khusus dan atau pelatihan yang terstruktur. Dapat dirumuskan tujuan farmasi klinik yaitu memaksimalkan efek terapeutik obat, meminimalkan resiko/toksisitas obat, meminimalkan biaya obat.
Kesimpulannya, farmasi klinik merupakan suatu disiplin ilmu kesehatan di mana farmasis memberikan asuhan (“care”; bukan hanya jasa pelayanan klinis) kepada pasien dengan tujuan untuk mengoptimalkan terapi obat dan mempromosikan kesehatan, wellness dan prevensi penyakit.


2.2   Tujuan Farmasi Klinik
1.    Memaksimalkan efek terapeutik
1)   Efektivitas terapi meliputi:
a.    Ketepatan indikasi
b.    Ketepatan pemilihan obat
c.    Ketepatan pengaturan dosis sesuai dengan kebutuhan dan kondisi pasien
d.   Evaluasi terapi
2.    Meminimalkan resiko
1)   Memastikan risiko yang sekecil mungkin bagi pasien
2)   Meminimalkan masalah ketidakamanan pemakaian obat meliputi efek samping, dosis, interaksi, dan kontra indikasi
3.     Meminimalkan biaya
1)   Untuk rumah sakit dan pasien
a.    Apakah jenis obat yang dipilih adalah yang paling efektif dalam hal biaya dan rasional ?
b.    Apakah terjangkau oleh kemampuan pasien atau rumah sakit ?
c.    Jika tidak, alternatif jenis obat apa yang memberikan kemanfaatan dan keamanan yang sama
4.    Menghormati pilihan pasien
1)   Keterlibatan pasien dalam proses pengobatan akan menetukan keberhasilan terapi.
2)   Hak pasien harus diakui dan diterima semua pihan

2.3   Sejarah Farmasi Klinik
Secara historis, perubahan-perubahan dalam profesi kefarmasian di Inggris, khususnya dalam abad ke-20, dapat dibagi dalam periode/tahap:
1.    Periode / tahap tradisional
Dalam periode tradisional ini, fungsi farmasis yaitu menyediakan, membuat, dan mendistribusikan produk yang berkhasiat obat. Tenaga farmasi sangat dibutuhkan di apotek sebagai peracik obat. Periode ini mulai mulai goyah saat terjadi revolusi industri dimana terjadi perkembangan pesat di bidang industri tidak terkecuali industri farmasi. Ketika itu sediaan obat jadi dibuat oleh industri farmasi dalam jumlah besar-besaran. Dengan beralihnya sebagian besar pembuatan obat oleh industri maka fungsi dan tugas farmasis berubah. Dalam pelayanan resep dokter, farmasis tidak lagi banyak berperan pada peracikan obat karena obat yang tertulis di resep sudah bentuk obat jadi yang tinggal diserahkan kepada pasien. Dengan demikian peran profesi kefarmasian makin menyempit.
2.    Tahap Transisional (1960-1970)
Perkembangan-perkembangan dan kecenderungan tahun 1960-an/1970-an
1)   Ilmu kedokteran cenderung semakin spesialistis
Kemajuan dalam ilmu kedokteran yang pesat, khusunya dalam bidang farmakologi dan banyaknya macam obat yang mulai membanjiri dunia menyebabkan para dokter merasa ketinggalan dalam ilmunya. Selain ini kemajuan dalam ilmu diagnosa, aalat-alat diagnosa baru serta penyakit-penyakit yang baru muncul (atau yangbaru dapat didefinisikan) membingungkan para dokter. Satu profesi tiadak dapat lagi menangani semua pengetahuan yang berkembang dengan pesat.
2)   Obat-obat baru yang efektif secara terapeutik berkembang pesat sekali dalam dekade-dekade tersebut. Akan tetapi keuntungan dari segi terapi ini membawa masalah-masalah tersendiri dengan meningkatnya pula masalah baru yang menyangkut obat; antara lain efek samping obat, teratogenesis, interaksi obat-obat, interaksi obat-makanan, dan interaksi obat-uji laboratorium.
3)   Meningkatnya biaya kesehatan sektor publik amtara lain disebabkan oleh penggunaan teknologi canggih yang mahal, meningkatnya permintaan pelayanan kesehatan secara kualitatif maupun kuantitatif, serta meningkatnya jumlah penduduk lansia dalam struktur demografi di negara-negara maju, seperti Inggris. Karena tekanan biaya kesehatan yang semakin mahal, pemerintah melakuakn berbagai kebijakan untuk meningkatkan efektifitas biaya (cost-effectiveness), termasuk dalam hal belanja obat (drugs expenditure).
4)   Tuntunan masyarakat untuk pelayanan medis dan farmasi yang bermutu tinggi disertai tuntunan pertanggungjawaban peran para dokter dan farmasis, sampai gugatan atas setiap kekurangan atau kesalahan pengobatan.
Kecenderungan-kecenderungan tersebut terjadi secara paralel dengan perubahan peranan farmasis yang semakin sempit. Banyak orang mempertanyakan peranan farmasis yang overtrained dan underutilised, yaitu pendidikan yang tinggi akan tetapi tidak dimanfaatkan sesuai dengan pendidikan mereka. Situasi ini memunculkan perkembangan farmasi bangsal (ward pharmacy) atau farmasi klinis (clinical pharmacy).
Farmasi klinis lahir pada tahun 1960-an di Amerika Serikat dan Inggris dalam periode transisi ini. Masa transisi ini adalah masa perubahan yang cepat dari perkembangan fungsi dan peningkatan jenis-jenis pelayanan profesional yang dilakukan oleh bebrapa perintis dan sifatnya masih individual. Yang paling menonjol adalah kehadiran farmasis di ruang rawat rumah sakit, meskipun masukan mereka masih terbatas. Banyak farmasis mulai mengembangkan fungsi-fungsi baru dan mencoba menerapkannya. Akan tetapi tampaknya, perkembangannya masih cukup lambat. Diantara para dokter, farmasis dan perawat, ada yang mendukung, tetapi adapula yang menolaknya.
3.       Tahap Masa Kini
Pada periode ini mulai terjadi pergeseran paradigma yang semula pelayanan farmasi berorientasi pada produk, beralih ke pelayanan farmasi yang berorientasi lebih pada pasien. Farmasis ditekankan pada kemampuan memberian pelayanan pengobatan rasional. Terjadi perubahan yang mencolok pada praktek kefarmasian khususnya di rumah sakit, yaitu dengan ikut sertanya tenaga farmasi di bangsal dan terlibat langsung dalam pengobatan pasien. 
Karakteristik pelayanan farmasi klinik di rumah sakit adalah :
1)   Berorientasi kepada pasien
2)   Terlibat langsung di ruang perawatan di rumah sakit (bangsal)
3)    Bersifat pasif, dengan melakukan intervensi setelah pengobatan dimulai dan memberi informasi bila diperlukan
4)    Bersifat aktif, dengan memberi  masukan kepada dokter sebelum pengobatan dimulai, atau menerbitkan buletin informasi obat atau pengobatan
5)   Bertanggung jawab atas semua saran atau tindakan yang dilakukan
6)   Menjadi mitra dan pendamping dokter.
Dalam sistem pelayanan kesehatan  pada konteks farmasi klinik, farmasis adalah ahli pengobatan dalam terapi. Mereka bertugas melakukan evalusi pengobatan dan memberikan rekomendasi pengobatan, baik kepada pasien maupun tenaga kesehatan lain. Farmasis merupakan sumber utama informasi ilmiah terkait dengan penggunaan obat yang aman, tepat dan cost effective.
4.    Tahap Masa Depan Pelayanan Kefarmasian (Pharmaceutical Care)
Gagasan ini masih dalam proses perkembangan. Diberikan disini untuk perluasan wawasan karena kita akan sering mendengar konsep ini. Pelayanan kefarmasiaan (Pharmaceutical Care) didefinisikan oleh Cipolle, Strand, dan Morley (1998) sebagai: “A practice in which the practitioner takes responsibility for a patient’s drug therapy needs, and is held accountable for this commitment”. Dalam prakteknya, tanggung jawab terapi obat diwujudkan pada pencapaian hasil positif bagi pasien.
Proses pelayanan kefarmasian dapat dibagi menjadi tiga komponen, yaitu;
1)        Penilaian (assessment): untuk menjamin bahwa semua terapi obat yang diiberikan kepada pasien terindikasikan, berkasiat, aman dan sesuai serta untuk mengidentifikasi setiap masalah terapi obat yang muncul, atau memerlikan pencegahan dini.
2)        Pengembangan perencanaan perawatan (Development of a Care Plan): secara bersama – sama, pasien dan praktisi membuat suatu perencanaan untuk menyelesaikan dan mencegah masalah terapi obat dan untuk mencapai tujuan terapi. Tujuan ini (dan intervensi) didesain untuk:
a.    Menyelesaikan setiap masalah terapi yang muncul
b.    Mencapai tujuan terapi individual
c.    Mencegah masalah terapi obat yang potensial terjadi kemudian
3)        Evaluasi: mencatat hasil terapi, untuk mengkaji perkembangan dalam pencapaian tujuan terapi dan menilai kembali munculnya masalah baru.
Ketiga tahap proses ini terjadi secara terus – menerus bagi seorang pasien. Konsep perencanaan pelayanan kefarmasian telah dirangkai oleh banyak praktisi farmasi klinis. Meskipun definisi pelayanan kefarmasian telah diterapkan secara berbeda dalam negara yang berbeda, gagasan dasar  adalah farmasis bertanggungjawab terhadap hasil penggunaan obat oleh/untuk pasien sama seperti seorang dokter atau perawat bertanggungjawab terhadap pelayanan medis dan keperawatan yang mereka berikan. Dengan kata lain, praktek ini berorientasi pada pelayanan yang terpusat kepada pasien dan tanggungjawab farmasis terhadap morbiditas dan mortalitas yang berkaitan dengan obat.

2.4  Farmasi Klinik di berbagai Belahan Dunia
1.      Farmasi Klinik di Eropa
Gerakan farmasi klinik di Eropa mulai menggeliat dengan didirikannya European Society of Clinical Pharmacy (ESCP) pada tahun 1979 (Leufkens et al, 1997). Sejak itu terjadi perdebatan yang terus menerus mengenai tujuan, peran dan nilai tambah farmasi klinik terhadap pelayanan pasien. Pada tahun 1983, ESCP mengkompilasi dokumen pendidikan berisi persyaratan dan standar untuk keahlian dan ketrampilan seorang farmasis klinik (ESCP, 1983).  Pada tahun itu, Federation Internationale Pharmaceutique (FIP) mempublika­sikan prosiding simposium bertemakan ‘Roles and Responsibilities of the Pharmacists in Primary Health Care’ di mana berhasil disimpulkan peran klinis seorang farmasis (Breimer et al, 1983). Sejak itu, World Health Organisation (WHO) dan berbagai institusi lain mulai mengenal dan memperjuangkan farmasis sebagai tenaga pelayanan kesehatan yang strategis (Lunde dan Dukes, 1989).
Pada tahun 1992, ESCP mempublikasikan “The Future of Clinical Pharmacy in Europe” yang merefleksikan perubahan cepat tentang peran farmasi di dalam sistem pelayanan kesehatan (Bonal et al, 1993). Perubahan tersebut terjadi secara universal di berbagai negara, dan itu terkait dengan perkembangan teknologi kesehatan, ekonomi kesehatan, informatika, sosial ekonomi, dan hubungan profesional (Waldo et al, 1991).
Menurut ESCP, farmasi klinik merupakan pelayanan yang diberikan oleh apoteker di RS, apotek, perawatan di rumah, klinik, dan di manapun, dimana terjadi peresepan dan penggunaan obat. Adapun tujuan secara menyeluruh aktivitas farmasi klinik adalah meningkat­kan penggunaan obat yang tepat dan rasional, dan hal ini berarti:
a.     Memaksimalkan efek pengobatan yaitu penggunaan obat yang paling efektif untuk setiap kondisi tertentu pasien.
b.    Meminimalkan risiko terjadinya adverse effect, yaitu dengan cara memantau terapi dan kepatuhan pasien terhadap terapi.
c.     Meminimalkan biaya pengobatan yang harus dikeluarkan oleh pasien atau pemerintah (ESCP, 2009).
Walaupun demikian, perkembangan pelayanan farmasi klinik tidaklah sama di semua negara Eropa. Inggris merupakan negara di Eropa yang paling lama menerapkan farmasi klinik. Sebagian besar penelitian tentang peran penting farmasi klinik dalam pelayanan kesehatan sebagian besar diperoleh dari pengalaman di Amerika dan Inggris.
2.      Farmasi Klinik di Australia
Di Australia, 90% rumah sakit swasta dan 100% rumah sakit pemerintah memberikan pelayanan farmasi klinik. Organisasi profesi utama yang mewadahi farmasis yang bekerja di RS di Australia adalah The Society of Hospital Pharmacists of Australia (SHPA), yang didirikan pada tahun 1941. Pada tahun 1996, SHPA mempublikasikan Standar Pelayanan Farmasi Klinik yang menjadi referensi utama pemberian pelayanan farmasi klinik di Australia.
Komponen fundamental dari standar ini adalah pernyataan tentang tujuan farmasi klinik dan dokumentasi dari aktivitas farmasi klinik terpilih. Standar ini juga digunakan dalam pengembangan kebijakan pemerintah dalam akreditasi pelayanan farmasi klinik di Australia, dan juga sebagai standar untuk pendidikan farmasi, baik di tingkat S1 maupun pasca sarjana (DiPiro, 2002)


3.    Farmasi Klinik di Indonesia
Praktek pelayanan farmasi klinik di Indonesia relatif baru berkembang pada tahun 2000-an, dimulai dengan adanya beberapa sejawat farmasis yang belajar farmasi klinik di berbagai institusi pendidikan di luar negeri. Belum sepenuhnya penerimaan konsep farmasi klinik oleh tenaga kesehatan di RS merupakan salah satu faktor lambatnya perkembangan pelayanan farmasi klinik di Indonesia.
Masih dianggap atau merupakan keganjilan jika apoteker yang semula berfungsi menyiapkan obat di Instalasi Farmasi RS, kemudian ikut masuk ke bangsal perawatan dan memantau perkembangan pengobatan pasien, apalagi jika turut memberikan rekomendasi pengobatan, seperti yang lazim terjadi di negara maju. Farmasis sendiri selama ini terkesan kurang menyakinkan untuk bisa memainkan peran dalam pengobatan. Hal ini kemungkinan besar disebabkan oleh sejarah pendidikan farmasi yang bersifat monovalen dengan muatan sains yang masih cukup besar (sebelum tahun 2001), sementara pendidikan ke arah klinik masih sangat terbatas, sehingga menyebabkan farmasis merasa gamang berbicara tentang penyakit dan pengobatan
Sebagai informasi, sejak tahun 2001, pendidikan farmasi di Indonesia, khususnya di UGM, telah mengakomodasi ilmu-ilmu yang diperlukan dalam pelayanan farmasi klinik, seperti patofisiologi, farmakoterapi, dll. dengan adanya minat studi Farmasi Klinik dan Komunitas.
Bersamaan dengan itu, mulai tahun 2001, berhembus angin segar dalam pelayanan kefarmasian di Indonesia. Saat itu terjadi restrukturisasi pada organisasi Departemen Kesehatan di mana dibentuk Direktorat Jenderal Bina Kefarmasian dan Alat Kesehatan, dengan Direktorat Bina Farmasi Komunitas dan Klinik di bawahnya, yang mengakomodasi pekerjaan kefarmasian sebagai salah satu pelayanan kesehatan utama, tidak sekedar sebagai penunjang. Menangkap peluang itu, Fakultas Farmasi UGM termasuk menjadi salah satu pioner dalam pendidikan Farmasi Klinik dengan dibukanya Program Magister Farmasi Klinik. Di sisi lain, beberapa sejawat farmasis rumah sakit di Indonesia mulai melakukan kegiatan pelayanan farmasi klinik, walaupun masih terbatas. Namun demikian, bukan berarti perkembangan farmasi klinik serta merta meningkat pesat, bahkan perkembangannya masih jauh dari harapan. Kasus Prita di sebuah RS di Tangerang yang cukup menghebohkan beberapa saat lalu merupakan salah satu cermin bahwa pelayanan kesehatan di Indonesia masih harus ditingkatkan, dan farmasis klinik mestinya bisa mengambil peran mencegah kejadian serupa.  Kiranya ke depan, perlu dilakukan upaya-upaya strategis untuk membuktikan kepada pemegang kebijakan dan masyarakat luas bahwa adanya pelayanan farmasi langsung kepada pasien akan benar-benar meningkatkan outcome terapi bagi pasien, seperti yang diharapkan ketika gerakan farmasi klinik ini dimulai. 

2.5  Macam – Macam Aktivitas Farmasi Klinik
Walaupun ada sedikit variasi di berbagai negara, pada prinsipnya aktivitas farmasi klinik meliputi :
1.      Pemantauan pengobatan
Hal ini dilakukan dengan menganalisis terapi, memberikan advis kepada praktisi kesehatan tentang kebenaran pengobatan, dan memberikan pelayanan kefarmasian pada pasien secara langsung
2.      Seleksi obat
Aktivitas ini dilakukan dengan bekerja sama dengan dokter dan pemegang kebijakan di bidang obat dalam penyusunan formularium obat atau daftar obat yang digunakan.
3.    Pemberian informasi obat
Farmasis bertanggug-jawab mencari informasi dan melakukan evaluasi literatur ilmiah secara kritis, dan kemudian mengatur pelayanan informasi obat untuk praktisi pelayanan kesehatan dan pasien
4.    Penyiapan dan peracikan obat
Farmasis bertugas menyiapkan dan meracik obat sesuai dengan standar dan kebutuhan pasien
5.    Penelitian dan studi penggunaan obat. 
Kegiatan farmasi klinik antara lain meliputi studi penggunaan obat, farmakoepidemio- logi, farmakovigilansi, dan farmakoekonomi.

6.    Therapeutic drug monitoring (TDM). 
Farmasi klinik bertugas menjalankan pemantauan kadar obat
7.    Uji klinik. 
Farmasis juga terlibat dalam perencanaan dan evaluasi obat, serta berpartisipasi dalam uji klinik.
8.    Pendidikan dan pelatihan, terkait dengan pelayanan kefarmasian.
Semua yang dipaparkan di atas adalah gambaran perkembangan profesi farmasi, khususnya farmasi klinik, yang terjadi di beberapa belahan dunia.

2.6    Pelayanan farmasi klinik
1.      Konseling
Konseling Obat adalah suatu aktivitas pemberian nasihat atau saran terkait terapi Obat dari Apoteker (konselor) kepada pasien dan/atau keluarganya. Konseling untuk pasien rawat jalan maupun rawat inap di semua fasilitas kesehatan dapat dilakukan atas inisitatif Apoteker, rujukan dokter, keinginan pasien atau keluarganya. Pemberian konseling yang efektif memerlukan kepercayaan pasien dan/atau keluarga terhadap Apoteker. Pemberian konseling Obat bertujuan untuk mengoptimalkan hasil terapi, meminimalkan risiko reaksi Obat yang tidak dikehendaki (ROTD), dan meningkatkan cost-effectiveness yang pada akhirnya meningkatkan keamanan penggunaan Obat bagi pasien (patient safety). Secara khusus konseling Obat ditujukan untuk: meningkatkan hubungan kepercayaan antara Apoteker dan pasien; menunjukkan perhatian serta kepedulian terhadap pasien; membantu pasien untuk mengatur dan terbiasa dengan Obat; membantu pasien untuk mengatur dan menyesuaikan penggunaan Obat dengan penyakitnya; meningkatkan kepatuhan pasien dalam menjalani pengobatan; mencegah atau meminimalkan masalah terkait Obat; meningkatkan kemampuan pasien memecahkan masalahnya dalam hal terapi; mengerti permasalahan dalam pengambilan keputusan; dan membimbing dan mendidik pasien dalam penggunaan Obat sehingga dapat mencapai tujuan pengobatan dan meningkatkan mutu pengobatan pasien. Kegiatan dalam konseling Obat meliputi: membuka komunikasi antara Apoteker dengan pasien; mengidentifikasi tingkat pemahaman pasien tentang penggunaan Obat melalui Three Prime Questions; menggali informasi lebih lanjut dengan memberi kesempatan kepada pasien untuk mengeksplorasi masalah penggunaan Obat; memberikan penjelasan kepada pasien untuk menyelesaikan masalah pengunaan Obat; melakukan verifikasi akhir dalam rangka mengecek pemahaman pasien; dan dokumentasi. Baca Juga: Pedoman Konseling Faktor yang perlu diperhatikan dalam konseling Obat: a. Kriteria Pasien: pasien kondisi khusus (pediatri, geriatri, gangguan fungsi ginjal, ibu hamil dan menyusui); pasien dengan terapi jangka panjang/penyakit kronis (TB, DM, epilepsi, dan lain-lain); pasien yang menggunakan obat-obatan dengan instruksi khusus (penggunaan kortiksteroid dengan tappering down/off); pasien yang menggunakan Obat dengan indeks terapi sempit (digoksin, phenytoin); pasien yang menggunakan banyak Obat (polifarmasi); dan pasien yang mempunyai riwayat kepatuhan rendah. b. Sarana dan Peralatan: ruangan atau tempat konseling; dan alat bantu konseling (kartu pasien/catatan konseling).
2.      Monitoring ESO
Monitoring Efek Samping Obat (MESO) merupakan kegiatan pemantauan setiap respon terhadap Obat yang tidak dikehendaki, yang terjadi pada dosis lazim yang digunakan pada manusia untuk tujuan profilaksis, diagnosa dan terapi. Efek Samping Obat adalah reaksi Obat yang tidak dikehendaki yang terkait dengan kerja farmakologi. MESO bertujuan:
a.    menemukan Efek Samping Obat (ESO) sedini mungkin terutama yang berat, tidak dikenal, frekuensinya jarang;
b.    menentukan frekuensi dan insidensi ESO yang sudah dikenal dan yang baru saja ditemukan;
c.    mengenal semua faktor yang mungkin dapat menimbulkan/mempengaruhi angka kejadian dan hebatnya ESO;
d.   meminimalkan risiko kejadian reaksi Obat yang idak dikehendaki; dan
e.    mencegah terulangnya kejadian reaksi Obat yang tidak dikehendaki.
Kegiatan pemantauan dan pelaporan ESO:
a.    mendeteksi adanya kejadian reaksi Obat yang tidak dikehendaki (ESO);
b.    mengidentifikasi obat-obatan dan pasien yang mempunyai risiko tinggi mengalami ESO;
c.    mengevaluasi laporan ESO dengan algoritme Naranjo;
d.   mendiskusikan dan mendokumentasikan ESO di Tim/Sub Komite/Tim Farmasi dan Terapi;
e.    melaporkan ke Pusat Monitoring Efek Samping Obat Nasional.
Faktor yang perlu diperhatikan:
a.    kerjasama dengan Komite/Tim Farmasi dan Terapi dan ruang rawat; dan
b.    ketersediaan formulir Monitoring Efek Samping Obat.
3.      Pencampuran obat suntik secara aseptis
Pencampuran obat suntik harus dilakukan di Instalasi Farmasi dengan teknik aseptik untuk menjamin sterilitas dan stabilitas produk dan melindungi petugas dari paparan zat berbahaya serta menghindari terjadinya kesalahan pemberian Obat. Dispensing sediaan steril bertujuan: a. menjamin agar pasien menerima Obat sesuai dengan dosis yang dibutuhkan; b. menjamin sterilitas dan stabilitas produk; c. melindungi petugas dari paparan zat berbahaya; dan d. menghindari terjadinya kesalahan pemberian Obat.
4.      Analisa efektivitas biaya
Analisis cost effectiveness (analisis efektivitas biaya) pada prinsipnya adalah membandingkan output yang dihasilkan dari berbagai kombinasi input, sehingga bisa diperkirakan kombinasi biaya terendah yang menghasilkan output yang diharapkan atau bisa pula mengidentifikasi output yang terbaik dari suatu biaya yang besarannya sudah ditentukan. Kesemuanya mengacu pada prinsip efektifitas. Analisis cost effectiveness adalah suatu bentuk analisis ekonomi yang membandingkan biaya dengan hasil (efek) dari dua atau lebih tindakan. Analisis cost effectiveness berbeda dari analisis cost-benefit (biaya-manfaat) yang memberikan nilai moneter untuk ukuran dari efek. Analisis cost effectiveness sering digunakan dalam bidang pelayanan kesehatan dan pendidikan, dimana tidak memungkinkan untuk menggunakan nilai uang untuk mengukur efek kesehatan dan pendidikan.
5.      Penentuan kadar obat dalam darah
Pemantauan Kadar Obat dalam Darah (PKOD) merupakan interpretasi hasil pemeriksaan kadar Obat tertentu atas permintaan dari dokter yang merawat karena indeks terapi yang sempit atau atas usulan dari Apoteker kepada dokter. PKOD bertujuan:
a.    mengetahui Kadar Obat dalam Darah; dan
b.    memberikan rekomendasi kepada dokter yang merawat.
Kegiatan PKOD meliputi: melakukan penilaian kebutuhan pasien yang membutuhkan Pemeriksaan Kadar Obat dalam Darah (PKOD); mendiskusikan kepada dokter untuk persetujuan melakukan Pemeriksaan Kadar Obat dalam Darah (PKOD); dan menganalisis hasil Pemeriksaan Kadar Obat dalam Darah (PKOD) dan memberikan rekomendasi.
6.      Penanganan obat sitostatika
Penanganan Sediaan Sitostatik Penanganan sediaan sitostatik merupakan penanganan Obat kanker secara aseptis dalam kemasan siap pakai sesuai kebutuhan pasien oleh tenaga farmasi yang terlatih dengan pengendalian pada keamanan terhadap lingkungan, petugas maupun sediaan obatnya dari efek toksik dan kontaminasi, dengan menggunakan alat pelindung diri, mengamankan pada saat pencampuran, distribusi, maupun proses pemberian kepada pasien sampai pembuangan limbahnya. Secara operasional dalam mempersiapkan dan melakukan harus sesuai prosedur yang ditetapkan dengan alat pelindung diri yang memadai. Kegiatan dalam penanganan sediaan sitostatik meliputi: melakukan perhitungan dosis secara akurat; melarutkan sediaan Obat kanker dengan pelarut yang sesuai; mencampur sediaan Obat kanker sesuai dengan protokol pengobatan; mengemas dalam kemasan tertentu; dan membuang limbah sesuai prosedur yang berlaku. Faktor yang perlu diperhatikan: ruangan khusus yang dirancang dengan kondisi yang sesuai; lemari pencampuran Biological Safety Cabinet; HEPA filter; Alat Pelindung Diri (APD); sumber daya manusia yang terlatih; dan cara pemberian Obat kanker.
7.      TPN (Total Parenteral Nutrisi)
Total Parenteral Nutrition (TPN) atau Total Nutrition Admixture (TNA) merupakan terapi pemberian nutrisi secara intravena kepada pasien yang tidak dapat makan melalui mulut. Tujuannya adalah mengganti dan mempertahankan nutrisi-nutrisi penting tubuh melalui infus intravena ketika (dan hanya ketika) pemberian makanan secara oral bersifat kontraindikasi atau tidak mencukupi. TPN digunakan ketika diperlukan saja dikarenakan oleh risiko yang terkait dengan terapi ini dan tingginya biaya untuk melakukan terapi ini.
TPN diberikan pada keadaan-keadaan sebagai berikut:
a.    Pasien yang sangat kekurangan gizi tanpa asupan oral lebih dari 1 minggu
b.    Pankreatitis berat
c.    Radang usus berat (Crohn’s disease dan ulcerative colitis)
d.   Operasi usus yang ekstensif
e.    Obstruksi usus kecil
f.     Kehamilan (pada kasus mual dan muntah yang berat)
g.    Pasien dengan cedera di kepala
Kebutuhan dan Pertimbangan Dasar Terapi TPN
Nutrisi dan cairan dasar
a.    Dekstrosa, sumber utama kalori; 1 gram dekstrosa memberikan energi sebesar 2,4 kilokalori (kkal)
b.    Asam amino, untuk sistesis protein yang dibutuhkan dalam pertumbuhan dan perbaikan jaringan; 1 gram asam asmino memberikan energi sebesar 4 kkal
c.    Lemak, untuk kebutuhan asam lemak esensial dan sebagai sumber kalori; 1 gram lemak memberikan energi sebesar 9 kkal
d.   Elektrolit, Na, K, Mg, Ca, fosfat
e.    Vitamin
f.     Trace elements, Cu, Cr, Zn, Mn, Se
Antagosis reseptor-H2 histamin, untuk mencegah dan mengobati tukak pada GI atas dan tukak yang terkait dengan stres; pengobatan ini sering disertakan pada formulasi TPN.
Agar tidak melebihi batas normal cairan sehari-hari, nutrisi-nutrisi tersebut biasanya diberikan sebagai larutan hipertonis dengan konsentrasi tinggi. Kerusakan vena yang diakibatkan oleh pemberian larutan TPN hipertonis diminimalisasi dengan melakukan pemberian larutan TPN melalui vena pusat berdiameter besar yang aliran darahnya cepat. Hal ini memungkinkan larutan TPN menjadi cepat terencerkan karena mengalir ke dalam tubuh.
Jalur Pemberian
TPN diberikan melalui pembuluh vena, yang secara umum dibagi menjadi dua jalur, yaitu melalui vena sentral (Central Vein Nutrition / CPN) dan vena perifer (Peripheral Parenteral Nutrition / PPN). PPN memiliki resiko komplikasi lebih jarang dan biaya lebih murah. Sedangkan pada pemberian melalui jalur sentral (central line), nutrisi parenteral dimasukkan mulai vena subklavian menuju vena cava superior melalui operasi.
Terdapat jalur khusus perifer yang dimasukkan melalui vena median basilika atau vena sefalis dan berujung di vena subklavian. Jalur ini dapat digunakan sebagai regimen CPN dengan keamanan menyamai PPN. Jalur ini disebut Peripherally Inserted Central Catheters (PICC). Jalur PICC dapat digunakan untuk berbagai suplai makanan dan dapat diaplikasikan pada bagian manapun yang memungkinkan (Dartford & Gravesham NHS Trust, 2006).
Regimentasi Pemberian
Untuk dewasa, pemberian TPN dimulai dengan tunjangan parsial yang lalu ditingkatkan untuk mencapai target kalori dalam 24 jam. Salah satu metode umum untuk memulai terapi adalah dengan menyediakan setengah dari volume dan nutrien yang diharapkan pada hari pertama kemudian ditingkatkan untuk memenuhi target hari selanjutnya.
Metode umum kedua ialah menyediakan volume target TPN dengan nutrien sekitar 50% total target hari pertama. Emulsi lipid harus diberikan sebagai infus terpisah, paling tidak pada hari pertama. Pemberian hari selanjutnya ialah untuk memenuhi jumlah nutrien yang ditargetkan (Rollins, 2002).
Komposisi Total Parenteral Nutrition
TPN ditujukan untuk menyediakan semua nutrisi yang dibutuhkan seperti pada diet normal. Penggunaannya disesuaikan dengan kebutuhan pasien secara individual. TPN terdiri dari air, protein, karbohidrat, lemak, elektrolit, trace elements, dan vitamin.
1.        Air
Kebutuhan air pada dewasa normal adalah 30-35 ml/kg/hari. Pasien dengan kondisi tertentu seperti diare, muntah, berkeringat, dan demam memerlukan jumlah air yang lebih besar. Kebutuhan air juga dipengaruhi oleh beberapa penyakit seperti gangguan jantung, saluran pernafasan, hati, dan ginjal.
2.    Energi dan nitrogen
Kebutuhan energi pada pasien sulit ditentukan dan kemungkinan dapat mencapai 12000 kJ/hari. Kebutuhan energi meningkat pada pasien dengan luka bakar, sepsis, pireksia dan trauma sehingga pasien perawatan intensif membutuhkan energi dalam jumlah besar.
a.    Sumber energi
Glukosa adalah sumber karbohidrat yang paling banyak dipilih. Larutan glukosa pekat diberikan untuk memenuhi kebutuhan kalori dan diberikan dalam bentuk infus melalui vena sentral untuk menghindari trombosis. Emulsi lemak menyediakan asam lemak esensial bagi tubuh dan berguna sebagai pembawa vitamin larut lemak. Intralipid adalah emulsi lipid/water yang menyediakan sumber energi 4600 kJ/L (10%) atau 8400 kJ/L (20%). Meskipun lipid tidak lazim digunakan sebagai sumber energi, sebaiknya diberikan setidaknya tiap minggu untuk mencegah defisiensi asam lemak.
b.    Sumber nitrogen
Satu gram nitrogen setara dengan 6,25 gram protein, yang setara dengan 5-6 gram asam amino. Albumin dibutuhkan jika terjadi hipoalbuminemia yang sering terjadi pada pasien dalam kondisi sakit kritis.\ Nutrisi mikro 
Elektrolit, vitamin, mineral, dan trace elements penting untuk menyediakan sumber nutrisi menyeluruh dan mencegah ketidakseimbangan atau defisiensi yang mungkin timbul.
Larutan elektrolit untuk nutrisi parenteral mengandung Na, K, Ca, Mg, Cl, dan asetat dalam berbagai konsentrasi, atau berupa garam elektrolit tunggal. Larutan asam amino dapat mengandung klorida dan asetat, atau fosfat, dan ada yang mengandung berbagai jenis elektrolit. Jumlah tiap-tiap elektrolit yang ditambahkan bersifat individual bergantung kebutuhan pasien.
Vitamin dibutuhkan tubuh dalam proses metabolisme. Vitamin-vitamin larut air seperti asam askorbat, vitamin B6, niasin, riboflavin, dan vitamin B12 biasanya tersedia dalam bentuk injeksi tunggal. Sedangkan vitamin larut lemak, seperti vitamin A, D, E, K dapat ditambahkan ke dalam formulasi nutrisi parenteral.
Trace elements esensial dibutuhkan oleh tubuh dalam jumlah yang kecil, yaitu zink, tembaga, mangan, besi, krom, molibdenum, dan selenium. Trace elements ini berperan sebagai kofaktor dalam sistem enzim.
Bahan tambahan lain: insulin dibutuhkan bila glukosa hipertonik diberikan terkait insulin endogen yang tidak memadai atau adanya resistensi insulin. (James-Chatgilaou, 1998; Rollins, 2002)
4.      Pemantauan penggunaan obat
Pemantauan penggunaan Obat merupakan suatu proses yang mencakup kegiatan untuk memastikan terapi Obat yang aman, efektif dan rasional bagi pasien. Tujuan PTO adalah meningkatkan efektivitas terapi dan meminimalkan risiko Reaksi Obat yang Tidak Dikehendaki (ROTD). Kegiatan dalam PTO meliputi: pengkajian pemilihan Obat, dosis, cara pemberian Obat, respons terapi, Reaksi Obat yang Tidak Dikehendaki (ROTD); pemberian rekomendasi penyelesaian masalah terkait Obat; dan pemantauan efektivitas dan efek samping terapi Obat. Tahapan PTO: pengumpulan data pasien; identifikasi masalah terkait Obat; rekomendasi penyelesaian masalah terkait Obat; pemantauan; dan tindak lanjut. Faktor yang harus diperhatikan: kemampuan penelusuran informasi dan penilaian kritis terhadap bukti terkini dan terpercaya (Evidence Best Medicine); kerahasiaan informasi; dan kerjasama dengan tim kesehatan lain (dokter dan perawat).
5.      Pengkajian penggunaan obat
Program evaluasi penggunaan Obat yang terstruktur dan berkesinambungan secara kualitatif dan kuantitatif. Tujuan EPO yaitu:
a. mendapatkan gambaran keadaan saat ini atas pola penggunaan Obat;
b. membandingkan pola penggunaan Obat pada periode waktu tertentu;
c. memberikan masukan untuk perbaikan penggunaan Obat; dan
d. menilai pengaruh intervensi atas pola penggunaan Obat.
Kegiatan praktek EPO:
a. mengevaluasi pengggunaan Obat secara kualitatif; dan
b. mengevaluasi pengggunaan Obat secara kuantitatif.
Faktor-faktor yang perlu diperhatikan:
a. indikator peresepan;
b. indikator pelayanan; dan
c. indikator fasilitas.
BAB III
PENUTUP

3.1   Kesimpulan
Farmasi klinik merupakan ilmu kefarmasian yang relatif baru berkembang di Indonesia. Istilah farmasi klinik mulai muncul pada tahun 1960-an di Amerika, yaitu suatu disiplin ilmu farmasi yang menekankan fungsi farmasis untuk memberikan asuhan kefarmasian (Pharmaceutical care) kepada pasien. Bertujuan untuk meningkatkan outcome pengobatan.
Secara filosofis, tujuan farmasi klinik adalah untuk memaksimalkan efek terapi, meminimalkan resiko, meminimalkan biaya pengobatan, serta menghormati pilihan pasien. Saat ini disiplin ilmu tersebut semakin dibutuhkan dengan adanya paradigma baru tentang layanan kefarmasian yang berorientasi pada pasien. Tenaga farmasi yang bekerja di rumah sakit dan komunitas (apotek, puskesmas, klinik, balai pengobatan dan dimanapun terjadi peresepan ataupun penggunaan obat), harus memiliki kompetensi yang dapat mendukung pelayanan farmasi klinik yang berkualitas.
2.7    Saran
Pada umumnya apoteker sekarang masih kurang peduli dalam memberikan penyuluhan atau pemahaman terhadap pasien mengenai obat, tata cara penggunaan dan indikasi obat. Dalam prakteknya, apoteker hanya melayani resep obat kemudian menyerahkannya kepada pasien, padahal tujuan utama tugas apoteker bukan hanya itu. Apoteker wajib memberikan pemahaman atau penyuluhan mengenai obat yang telah apoteker berikan kepada pasiennya.  Karena itulah Apoteker harus memiliki rasa peduli kepada pasiennya.







DAFTAR PUSTAKA

Amstrong dkk. 2005. The contribution of community pharmacy to improving the public’s helath. Report 3 : An overview of evidence-base from 1990-2002 and recommendations for action.
Aslam M dkk. 2003. Clinical Pharmacy : Menuju Pengobatan Rasional dan Penghargaan Pilihan Pasien
Ikawati Z. 2010. Pelayanan Farmasi Kinik pada Era Genomik: Sebuah Tantangan danPeluang. Disampaikan pada Pengukuhan Guru Besar
 

Komentar

  1. Terimakasih kak Artikel  Farmasi Klinik nya sangat membantu dan mudah dipahami


    Farmasi Klinik merupakan praktek kefarmasian yang berorientasi kepada pasien lebih dari orientasi kepada produk

    BalasHapus

Posting Komentar

Postingan populer dari blog ini

laporan praktikum analgetik

kunci determinasi kunyit

MAKALAH TEKNIK SAMPLING