Makalah DRPs (Drug Related Problems)
Brebes, Jawa Tengah
MAKALAH FARMASI
KLINIK
DAN INTERPRETASI DATA KLINIK
DRPs
(Drug Related Problems)
DISUSUN
OLEH :
Nova
Riyani (E0014047)
Restu
Putri Utami (E0014050)
Siti
Lailatul Karimah (E0014053)
Supatmi
(E0014056)
Tingkat
III.B
PROGRAM
STUDI S1 FARMASI
STIKes BHAKTI MANDALA
HUSADA SLAWI
KATA
PENGANTAR
Puji syukur kami panjatkan kehadirat
Tuhan Yang Maha Esa karena dengan rahmat, karunia, serta taufik dan hidayah-Nya
kami dapat menyelesaikan makalah tentang “DRPs (Drug Related
Problems”.
Dan juga kami berterima kasih pada Ibu
Devi Ika K.S, M.Sc,
selaku dosen mata kuliah Ilmu Resep
yang telah memberikan tugas ini.
Kami sangat berharap makalah ini
dapat berguna dalam rangka menambah wawasan serta pengetahuan.Kami juga
menyadari sepenuhnya bahwa di dalam makalah ini terdapat kekurangan dan jauh
dari kata sempurna. Oleh sebab itu, diharapkan adanya kritik, saran dan usulan
demi perbaikan makalah yang telah kami buat di masa yang akan datang, mengingat
tidak ada sesuatu yang sempurna tanpa saran yang membangun.
Semoga makalah sederhana ini dapat dipahami bagi siapapun
yang membacanya.Sekiranya laporan yang telah disusun ini dapat berguna bagi
kami sendiri maupun orang yang membacanya. Sebelumnya kami mohon maaf apabila
terdapat kesalahan kata-kata yang kurang berkenan dan kami memohon kritik dan
saran yang membangun demi perbaikan di masa depan.
Slawi,
Maret
2017
Penyusun
DAFTAR
ISI
HALAMAN JUDUL....................................................................................... i
KATA PENGANTAR..................................................................................... ii
DAFTAR ISI................................................................................................... iii
BAB I PENDAHULUAN
1.1
Latar
Belakang.......................................................................... 1
1.2
Rumusan
Masalah..................................................................... 2
1.3
Tujuan....................................................................................... 2
BAB II TINJAUAN PUSTAKA
2.1
Definisi
DRPs (Drug Related Problems) ..................................... 4
2.2
Komponen-Komponen
DRPs ....................................................... 5
2.3
Data
Yang Penteing Mengenai Pasien ......................................... 7
2.4
Klasifikasi
DRPs .......................................................................... 7
2.5
Studi
Kasus DRP (Drug Related Problem) .................................. 8
2.6
Kasus ............................................................................................ 10
BAB III PENUTUP
3.1
Kesimpulan.................................................................................... 18
3.2
Saran.............................................................................................. 19
DAFTAR PUSTAKA...................................................................................... 20
BAB
I
PENDAHULUAN
1.1.
Latar Belakang
Pemberian
informasi obat memiliki peranan penting dalam rangka memperbaiki kualitas hidup
pasien dan menyediakan pelayanan bermutu bagi pasien.Kualitas hidup dan
pelayanan bermutu dapat menurun akibat adanya ketidakpatuhan terhadap program
pengobatan.Penyebab ketidak patuhan
tersebut salah satunya disebabkan kurangnya informasi tentang obat.Selain itu,
regimen pengoatan yang kompleks dan kesulitan mengikuti regimen pengobatan yang
diresepkan merupakan masalah yang mengakibatkan ketidakpatuhan terhadap
pengobatan.Selain maslah kepatuhan, pasien juga dapat mengalami efek yang tidak
diinginkan dari penggunaan obat.Dengan diberikannya informasi obat kepada
pasien maka maslah terkait obat seperti penggunaan obat tanpa indikasi, indikasi
yang tidak terobati, dosis obat terlalu tinggi, dosis subterapi, serta
interaksi obat dapat dihindari.
Jenis
informasi yang diberikan apoteker pada pasien yang mendapat resep baru meliputi
nama dan gambaran obat, tujuan pengobatan, cara dan waktu penggunaan, saran
ketaatan dan pemantauan sendiri, efek sam[ing dan efek merugikan, tindakan
pencegahan, kontraindikasi, dan interaksi, petunjuk penyimpanan, informasi
pengulangan resep dan rencana pemantauan
lanjutan. Selain itu, diskusi penutup juga diperlukan untuk mengulang kembali
dan menekankan hal-hal terpenting terkait pemberian informasi mengenai obat.
Drug
Related Problems (DRPs)
merupakan kejadian yang
tidak diharapkan dari pengalaman pasien akibat atau diduga akibat
terapi obat sehingga kenyataannya akan
dapat menggangggu keberhasilan pemyembuhan yang
diharapkan. DRPs selain
merugikan pasien juga dapat menghambat
keberhasilan suatu terapi.
DRPs dapat berupa masalah aktual
maupun potensial. DRPs
aktual adalah problem
atau masalah yang sudah terjadi pada pasien, dan farmasis harus
berusaha menyelesaikannya.
Sedangkan DRPs potensial
adalah suatu problem atau masalah yang mungkin terjadi,
suatu risiko yang dapat berkembang pada
pasien jika farmasis
tidak melakukan suatu
tindakan untuk mencegahnya.
Drug Related
Problems (DRPs) merupakan
masalah kesehatan yang serius
yang dapat terjadi
pada semua tingkat
umur, dapat mempengaruhi kualitas
hidup pasien serta menimbulkan dampak ekonomi yang cukup besar. Journal of the
American Medical Association (JAMA)
melaporkan bahwa berdasarkan
sebuah meta analisis
dari 39 studi perspektif pada
bulan April 1998,
dalam satu tahun
terdapat sekitar 2.216.000 pasien
yang dirawat di rumah sakit akibat mengalami Adverse Drug Reactions
(ADRs) yang serius
dan 106.000 pasien
meninggal karena masalah-masalah terkait obat. Dilihat dari segi
ekonomi, DRPs merupakan permasalahan yang memiliki dampak ekonomi sangat besar.
Dampak ekonomi terkait DRPs yang terjadi pada semua umur baik dirumah sakit,
rumah perawatan (nursing home), maupun komunitas.
Dengan
adanya DRP diharapkan seorang apoteker menjalankan perannya dengan melakukan
screening resep untuk mengetahui ada atau tidaknya DRP,
serta melakukan konseling
pada pasien tersebut
agar masalah terkait penggunaan obat dapat diatasi dan pasien dapat
mengerti tentang pengobatannya yang
bermuara pada meningkatnya kepatuhan pasien dalam pengobatan yang
teratur.
1.2.
Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang di atas, maka dapat dirumuskan
permasalahan sebagai berikut :
a. Apa definisi dari DRPs (Drug Relatit
Problems)?
b. Apa saja komponen-komponen DPRs?
c. Apa saja data yang penting mengenai pasien?
d. Apa saja klasifikasi DRPs?
e. Apakah ada contoh studi kasus DRP (Drug Related Problem)?
1.3.
Tujuan
Tujuan dari penulisan makalah ini
adalah sebagai berikut:
a. Mengetahui definisi dari DRPs (Drug
Relatit Problems)
b. Mengetahui komponen-komponen DPRs
c. Mengetahui apa saja data yang penting mengenai pasien
d. Mengetahui klasifikasi DRPs
e. Mengetahui contoh studi kasus DRP (Drug Related Problem)
.
BAB
II
TINJAUAN
PUSTAKA
2.1
Definisi DRPs (Drug Related Problems)
DRPs
adalah adalah kejadian yang tidak diinginkan pasien terkait terapi obat, dan secara nyata maupun potensial berpengaruh pada outcome yang diinginkan pasien.
Suatu kejadian dapat disebut DRPs
apabila terdapat dua kondisi, yaitu:
(a) adanya kejadian tidak
diinginkan yang dialami pasien, kejadian ini dapat berupa keluhan medis, gejala, diagnose
penyakit, ketidak mampuan
(disability) yang merupakan efek dari
kondisi psikologis, fisiologis, sosiokultur atau ekonomi;
dan (b) adanya hubungan antara kejadian
tersebut
dengan terapi obat (Strand,
et al., 1990).
Society
Consultant American Pharmacist menyebutkan
bahwa tujuan dari terapi obat adalah perbaikan kualitas hidup pasien melalui
pengobatan atau pencegahan penyakit, mengurangi timbulnya gejala, atau
memperlambat proses penyakit. Kebutuhan pasien berkaitan dengan terapi obat
atau drug related needs meliputi ketepatan indikasi, keefektifan,
keamanan terapi, kepatuhan pasien, dan indikasi yang belum tertangani. Apabila
kebutuhan tersebut tidak terpenuhi atau outcome pasien tidak tercapai maka hal
ini dapat dikategorikan sebagai DRP (Cipolle et al., 1998).
Drug
Related Problems merupakan suatu kejadian yang
tidak diharapkan dan pengalaman pasien akibat atau diduga akibat terapi obat
sehingga kenyataannya/potensial mengganggu keberhasilan penyembuhan yang
dikehendaki (Cipolle et al, 1998).
DRP
aktual adalah DRP yang sudah terjadi sehingga harus diatasi dan
dipecahkan.Dalam hal ini pasien sudah mengalami DRP misalnya dosis terlalu
besar sehingga dosis harus disesuaikan dengan kondisi pasien. DRP potensial
adalah DRP yang kemungkinan besar dapat terjadi dan akan dialami oleh pasien
apabila tidak dilakukan pencegahan, misalnya pasien apabila diberikan suatu
obat akan mengalami kontraindikasi sehingga harus diganti dengan obat lain
(Rovers et al, 2003).
2.2
Komponen-Komponen DPRs
Ada dua komponen penting dalam DRPs yaitu:
1.
Kejadian atau resiko yang tidak diharapkan yang dialami oleh
pasien. Kejadian ini dapat diakibatkan oleh kondisi ekonomi, psikologi,
fisiologis, atau sosiokultural pasien.
2. Ada hubungan atau diduga ada
hubungan antara kejadian yang tidak diharapkan yang dialami oleh pasien dengan
terapi obat. Hubungan ini meliputi konsekwensi dari terapi obat sehingga
penyebab/diduga sebagai penyebab kejadian tersebut,atau dibutuhkannya terapi
obat untuk mencegah kejadian tersebut.
Menurut Cipolle et al,1998 kategori DRP adalah:
1. Membutuhkan obat tetapi
tidak menerimanya
Membutuhkan obat tambahan misalnya untuk profilaksis atau
premedikasi, memiliki penyakit kronik yang memerlukan pengobatan kontinyu.
2. Menerima obat tanpa indikasi
yang sesuai
Menggunakan obat tanpa indikasi yang tepat, dapat membaik
kondisinya dengan terapi non obat,minum beberapa obat padahal hanya satu
terapiobat yang diindikasikan dan atau minum obat untuk mengobati efeksamping.
3. Menerima obat salah
Kasus yang mungkin terjadi: obat tidak efektif, alergi, adanya
resiko kontraindikasi, resisten terhadap obat yang diberikan, kombinasi obat
yang tidak perlu dan bukan yang paling aman.
4. Dosis terlalu rendah
Penyebab yang sering terjadi: dosis terlalu kecil untuk
menghasilkan respon yang diinginkan, jangka waktu terapi yang terlalu
pendek,pemilihan obat, dosis, rute pemberian, dan sediaan obat tidak tepat.
5. Dosis terlalu tinggi
Penyebab yang sering terjadi: dosis salah, frekuensi tidak tepat,
jangka waktu tidak tepat dan adanya interaksi obat.
6.
Pasien mengalami ADR
Penyebabnya: pasien dengan factor resiko yang
berbahaya bila obatdigunakan, efek dari obat dapat diubah oleh substansi
makanan pasien,interaksi dengan obat lain, dosis dinaikkan atau diturunkan
terlalu cepatsehingga menyebabkan ADR dan mengalami efek yang tidak
dikehendakiyang tidak diprediksi.
7.
Kepatuhan
Penyebab: pasien tidak menerima aturan pemakaian obat yang tepat,
pasien tidak menuruti rekomendasi yang diberikan untuk pengobatan, pasien tidak
mengambil obat yang diresepkan karena harganya mahal, pasien tidak mengambil
beberapa obat yang diresepkan secara konsisten karena merasa sudah sehat
(Cipolle et al, 1998).
2.3
Data
yang penting mengenai pasien dapat digolongkan dalam tiga kategori :
1. Karakter
klinis dari penyakit atau kondisi pasien, meliputi: umur, seks, etnis, ras,
sejarah sosial, status kehamilan, status kekebalan, fungsi ginjal, hati dan
jantung, status nutrisi, serta harapan pasien.
2.
Obat lain yang dikonsumsi pasien, berkaitan dengan
terapi obat pada saat ini dan masa lalu, alergi obat, profil toksisitas,
adverse drug reaction, rute dan cara pemberian obat, dan persepsi mengenai
pengobatannya.
3.
Penyakit, keluhan, gejala pasien meliputi masalah
sakitnya pasien, keseriusan, prognosa, kerusakan, cacat, persepsi pasien
mengenai proses penyakitnya.
Data dapat diperoleh dari beberapa sumber misalnya
pasien sendiri, orang yang merawat pasien, keluarga pasien, medical record,
profil pasien dari farmasis, data laboratorium, dokter, perawat dan profesi
kesehatan lainnya (Cipolle et al., 1998).
Secara umum perhatian farmasis terhadap Drug Related
Problems sebaiknya diprioritaskan pada pasien geriatri,pasien pediatri, ibu
hamil dan menyusui, serta pasien yang mendapatkan obat dengan indeks terapi
sempit(Yunita et al., 2004).
Farmasis mempunyai tanggung jawab untuk
mengidentifikasi, mencegah dan memecahkan Drug Related Problems (DRPs),
walaupun hal tersebut tidak selalu mudah dicapai.Faktor kepatuhan pasien ikut
bertanggung jawab atas kesembuhannya.Sebab itu farmasis juga harus dapat
melakukan konseling, edukasi dan informasi kepada pasien (Cipolle et al.,
1998).
Masalah terkait obat dapat mempengaruhi morbiditas
dan mortalitas kualitas hidup pasien serta berdampak juga terhadap ekonomi dan
social pasien.Pharmaceutical Care Network Europe mendefinisikan masalah terkait
obat (DRPs) adalah kejadian suatu kondisi terkait dengan terapi obat yang
secara nyata atau potensial mengganggu hasil klinis kesehatan yang diinginkan
(Pharmaceutical Care Network Europe., 2006).
2.4
Klasifikasi
DRPs
Strand, et al.,
(1990) mengklasifikasikan
DRPs menjadi 8 kategori
besar:
1. Pasien mempunyai kondisi medis yang membutuhkan terapi obattetapi pasien tidak mendapatkan obatuntuk indikasi tersebut.
2. Pasien mempunyai kondisi medis dan menerima obat yang tidak mempunyai indikasi medis yang valid.
3. Pasien mempunyai kondisi medis tetapi mendapatkan obatyang tidak aman, tidak palingefektif, dan kontraindikasi dengan pasien tersebut.
4. Pasien mempunyai kondisi medis dan mendapatkan obat
yang benartetapi dosis obattersebut
kurang.
5. Pasien mempunyai kondisi medis dan mendapatkan obat
yang benartetapi dosis obat tersebut
lebih.
6. Pasien mempunyai kondisi
medis akibat dari reaksi obat yang
merugikan.
7. Pasien mempunyai kondisi medis akibatinteraksi obat-obat, obat-makanan,
obat-hasillaboratorium.
8. Pasien mempunyai kondisi medis tetapitidakmendapatkan obat yang diresepkan.
Pharmaceutical
Care Network Europe (The PCNE Classification V5.01) mengelompokkan masalah
terkait obat sebagai berikut (Pharmaceutical Care Network Europe., 2006) :
1.
Reaksi obat yang tidak dikehendaki/ROTD (Adverse
Drug Reaction/ADR)
Pasien
mengalami reaksi obat yang tidak dikehendaki seperti efek samping atau
toksisitas.
2.
Masalah pemilihan obat (Drug choice problem)
Masalah
pemilihan obat di sini berarti pasien memperoleh atau akan memperoleh obat yang
salah (atau tidak memperoleh obat) untuk penyakit dan kondisinya. Masalah
pemilihan obat antara lain: obat diresepkan tapi indikasi tidak jelas, bentuk
sediaan tidak sesuai, kontraindikasi dengan obat yang digunakan, obat tidak
diresepkan untuk indikasi yang jelas.
3.
Masalah pemberian dosis obat (Drug dosing problem)
Masalah
pemberian dosis obat berarti pasien memperoleh dosis yang lebih besar atau
lebih kecil dar ipada yang dibutuhkannya.
4.
Masalah pemberian/penggunaan obat (Drug
use/administration problem)
Masalah
pemberian/penggunaan obat berarti tidak memberikan/tidak menggunakan obat sama
sekali atau memberikan/menggunakan yang tidak diresepkan.
5.
Interaksi obat (Interaction)
Interaksi
berarti terdapat interaksi obat-obat atau obat-makanan yang bermanifestasi atau
potensial.
6.
Masalah lainnya (Others)
Masalah
lainnya misalnya: pasien tidak puas dengan terapi, kesadaran yang kurang
mengenai kesehatan dan penyakit, keluhan yang tidak jelas(memerlukan
klarifikasi lebih lanjut), kegagalan terapi yang tidak diketahui penyebabnya,
perlu pemeriksaan laboratorium.
Pemeriksaan laboratorium.
Klasifikasi
DRP:
1. Indikasi
Pasien mengalami
masalah medis yang memerlukan terapi obat (indikasi untuk penggunaan obat),
tetapi tidak menerima obat untuk indikasi tersebut.
1) Pasien memerlukan obat tambahan
Keadaan yang
ditemukan pada DRP adalah suatu keadaan ketika pasien menderita penyakit
sekunder yang mengakibatkan keadaan yang lebih buruk daripada sebelumnya,
sehingga memerlukan terapi tambahan. Penyebab utama perlunya terapi tambahan
antara lain ialah untuk mengatasi kondisi sakit pasien yang tidak mendapatkan
pengobatan, untuk menambahkan efek terapi yang sinergis, dan terapi untuk
tujuan preventif atau profilaktif. Misalnya, penggunaan obat AINS biasanya
dikombinasikan dengan obat antihistamin 2 dengan tujuan untuk mencegah
terjadinya iritasi lambung.
2) Pasien menerima obat yang tidak
diperlukan
Pada kategori
ini termasuk juga penyalahgunaan obat, swamedikasi yang tidak benar,
polifarmasi dan duplikasi.Merupakan tanggungjawab farmasi agar pasien tidak
menggunakan obat yang tidak memiliki indikasi yang tepat.DRP kategori ini dapat
menimbulkan implikasi negatif pada pasien berupa toksisitas atau efek samping,
dan membengkaknya biaya yang dikeluarkan diluar yang seharusnya.Misalnya,
pasien yang menderita batuk dan flu mengkonsumsi obat batuk dan
analgesik-antipiretik terpisah padahal dalam obat batuk tersebut sudah
mengandung paracetamol.
2.
Efektivitas
1) Pasien menerima regimen terapi yang
salah
a. Terapi multi obat (polifarmasi)
Polifarmasi
merupakan penggunaan obat yang berlebihan oleh pasien dan penulisan obat
berlebihan oleh dokter dimana pasien menerima rata-rata 8-10 jenis obat
sekaligus sekali kunjungan dokter atau pemberian lebih dari satu obat untuk
penyakit yang diketahui dapat disembuhkan dengan satu jenis obat. Jumlah obat
yang diberikan lebih dari yang diperlukan untuk pengobatan penyakit dapat
menimbulkan efek yang tidak diinginkan, seperti pemberian puyer pada anak
dengan batuk pilek yang berisi :
a) Amoksisillin
b) Parasetamol
c) Gliseril Guaiakolat
d) Deksametason
e) CTM
f) Luminal
Dari hal tersebut terlihat adanya
polifarmasi, seorang farmasis bisa menkonfirmasikan atau mendiskusikan terlebih
dahulu kepada dokter sehingga penggunaan yang tidak perlu seperti deksametason
dan luminal sebaiknya tidak diberikan untuk mencegah terjadinya regimen terapi
yang salah.
b. Frekuensi pemberian
Banyak obat
harus diberikan pada jangka waktu yang sering untuk memelihara konsentrasi
darah dan jaringan.Namun, beberapa obat yang dikonsumsi 3 atau 4 kali sehari
biasanya benar-benar manjur apabila dikonsumsi sekali dalam sehari.Contohnya:
frekwensi pemberian amoksisilin 4 kali sehari yang seharusnya 3 kali sehari.
cara
pemberian yang tidak tepat misalnya pemberian asetosal atau aspirin sebelum
makan, yang seharusnya diberikan sesudah makan karena dapat mengiritasi
lambung.
a) Durasi dari terapi
Contohnya
penggunaan antibiotik harus diminum sampai habis selama satu kurum pengobatan,
meskipun gejala klinik sudah mereda atau menghilang sama sekali. Interval waktu
minum obat juga harus tepat, bila 4 kali sehari berarti tiap enam jam, untuk
antibiotik hal ini sangat penting agar kadar obat dalam darah berada diatas
kadar minimal yang dapat membunuh bakteri penyebab penyakit.
b) Pasien menerima obat yang benar tetapi
dosisnya terlalu rendah
Pasien menerima
obat dalam jumlah lebih kecil dibandingkan dosis terapinya.Hal ini dapat
menjadi masalah karena menyebabkan tidak efektifnya terapi sehingga pasien
tidak sembuh, atau bahkan dapat memperburuk kondisi kesehatannya. Hal-hal yang
menyebabkan pasien menerima obat dalam jumlah yang terlalu sedikit antara lain
ialah kesalahan dosis pada peresepan obat, frekuensi dan durasi obat yang tidak
tepat dapat menyebabkan jumlah obat yang diterima lebih sedikit dari yang
seharusnya, penyimpanan juga berpengaruh terhadap beberapa jenis sediaan obat,
selain itu cara pemberian yang tidak benar juga dapat mengurangi jumlah obat
yang masuk ke dalam tubuh pasien.
Ada
beberapa faktor pendukung yang menyebabkan kejadian tersebut yaitu antara lain
obat diresepkan dengan metode fixed model (hanya merujuk pada dosis lazim)
tanpa mempertimbangkan lebih lanjut usia, berat badan, jenis kelamin dan
kondisi penyakit pasien sehingga terjadi kesalahan dosis pada peresepan. Adanya
asumsi dari tenaga kesehatan yang lebih menekankan keamanan obat dan
meminimalisir efek toksik terkadang sampai mengorbankan sisi efektivitas
terapi. Ketidakpatuhan pasien yang menyebabkan konsumsi obat tidak tepat
jumlah, antara lain disebabkan karena faktor ekonomi pasien tidak mampu menebus
semua obat yang diresepkan, dan pasien tidak paham cara menggunakan obat yang
tepat. Misalnya pemberian antibiotik selama tiga hari pada penyakit ISFA
Pneumonia.
3. Keamanan
1) Pasien menerima obat dalam dosis terlalu
tinggi
Pasien menerima
obat dalam jumlah dosis terlalu tinggi dibandingkan dosis terapinya. Hal ini
tentu berbahaya karena dapat terjadi peningkatan resiko efek toksik dan bisa
jadi membahayakan Hal-hal yang menyebabkan pasien menerima obat dalam jumlah
dosis terlalu tinggi antara lain ialah kesalahan dosis pada peresepan obat,
frekuensi dan durasi minum obat yang tidak tepat. Misalnya, penggunaan fenitoin
dengan kloramfenikol secara bersamaan, menyebabkan interaksi farmakokinetik
yaitu inhibisi metabolisme fenitoin oleh kloramfenikol sehingga kadar fenitoin
dalam darah meningkat.
2) Pasien mengalami efek obat yang tidak diinginkan
(Adverse drug reaction)
Dalam terapinya
pasien mungkin menderita ADR yang dapat disebabkan karena obat tidak sesuai
dengan kondisi pasien, cara pemberian obat yang tidak benar baik dari frekuensi
pemberian maupun durasi terapi, adanya interaksi obat, dan perubahan dosis yang
terlalu cepat pada pemberian obat-obat tertentu.
ADR
merupakan respon terhadap suatu obat yang berbahaya dan tidak diharapkan serta
terjadi pada dosis lazim yang dipakai oleh manusia untuk tujuan profilaksis,
diagnosis maupun terapi.
Pada
umumnya ADR dibagi menjadi beberapa kelompok, yaitu :
1) Reaksi tipe A
Reaksi tipe A
mencakup kerja farmakologis primer atau sekunder yang berlebihan atau perluasan
yang tidak diharapkan dari kerja obat seperti diuretik mengimbas hipokalemia
atau propanolol mengimbas pemblok jantung. Reaksi ini seringkali bergantung
dosis dan mungkin disebabkan oleh suatu penyakit bersamaan, interaksi obat-obat
atau obat-makanan. Reaksi tipe A dapat terjadi pada setiap orang.
2) Reaksi tipe B
Reaksi tipe B
merupakan reaksi idiosinkratik atau reaksi imunologi. Reaksi alergi mencakup
tipe berikut :
Ø Tipe I, anafilaktik (reaksi alergi
mendadak bersifat sistemik) atau segera (hipersensitivitas)
Ø Tipe II, sitotoksik
Ø Tipe III, serum
Ø Tipe IV, reaksi alergi tertunda misalnya
penggunaan fenitoin dalam jangka waktu lama dapat menyebabkan Steven Johnson
syndrome.
3) Reaksi Tipe C (berkelanjutan)
Reaksi tipe C
disebabkan penggunaan obat yang lama misalnya analgesik, nefropati.
4) Reaksi Tipe D
Reaksi tipe D
adalah reaksi tertunda, misalnya teratogenesis dan karsinogenesis.
5) Reaksi Tipe E
Reaksi tipe E,
penghentian penggunaan misalnya timbul kembali karena ketidakcukupan
adrenokortikal.
4. Kepatuhan
Kepatuhan adalah
tingkat ketepatan perilaku seorang individu dengan nasehat medis atau
kesehatan. Kepatuhan pasien untuk minum obat dipengaruhi oleh beberapa faktor,
antara lain :
1) Persepsi tentang kesehatan
2) Pengalaman mengobati sendiri
3) Pengalaman dengan terapi sebelumnya
4) Lingkungan (teman, keluarga)
5) Adanya efek samping obat
6) Keadaan ekonomi
7) Interaksi dengan tenaga kesehatan
(dokter, apoteker, perawat).
Akibat
dari ketidakpatuhan (non-compliance) pasien untuk mengikuti aturan selama
pengobatan dapat berupa kegagalan terapi dan toksisitas.Ketidakpatuhan
seolah-olah diartikan akibat kelalaian dari pasien, dan hanya pasienlah yang
bertanggung jawab terhadap hal-hal yang terjadi akibat ketidakpatuhannya.
Padahal penyebab ketidakpatuhan bukan semata-mata hanya kelalaian pasien dalam
mengikuti terapi yang telah ditentukan, namun banyak faktor pendorongnya, yaitu
:
a. Obat tidak tersedia
Tidak
tersedianya obat yang dibutuhkan pasien diapotek terdekat menyebabkan pasien
enggan untuk menebus obat keapotek lain.
b. Regimen yang kompleks
Jenis sediaan
obat terlalu beragam, misalnya pada saat bersamaan pasien mendapat sirup,
tablet, tablet hisap, dan obat inhaslasi, hal ini dapat menyebabkan pasien
enggan minum obat.
c. Usia lanjut
Misalnya, banyak
pasien geriatrik menggunakan lima atau eman obat-obatan beberapa kali dalam
sehari pada waktu yang berbeda. Kesamaan penampilan seperti ukuran, warna, atau
bentuk obat-obat tertentu dapat berkontribusi pada kebingungan.Beberapa pasien
geriatrik dapat mengalami hilang daya ingat yang membuat ketidak patuhan lebih
mungkin.
d. Lamanya terapi
Pemberian obat
dalam jangka panjang misalnya pada penderita TBC, DM, arthritis, hipertensi
dapat mempengaruhi kepatuhan pasien, dimana pasien merasa bosan dalam
penggunaan obat tersebut yang menyebabkan efek terapi tidak tercapai.
e. Hilangnya gejala
Pasien dapat
merasa lebih baik setelah menggunaan obat dan merasa bahwa ia tidak perlu lebih
lama menggunakan obatnya setelah reda. Misalnya, ketika seorang pasien tidak
menghabiskan obatnya selama terapi antibiotik setelah ia merasa bahwa infeksi
telah terkendali. Hal ini meningkatkan kemungkinan terjadinya kembali infeksi,
sehingga pasien wajib diberi nasehat untuk menggunakan seluruh obat selama terapi
antibiotik.
f. Takut akan efek samping
Timbulnya efek
samping setelah meminum obat, seperti : ruam kulit dan nyeri lambung atau
timbulnya efek ikutan seperti urin menjadi merah karena minum obat rimpafisin
dapat menyebabkan pasien tidak mau menggunakan obat.
g. Rasa obat yang tidak enak
Masalah rasa
obat-obatan paling umum dihadapi dengan penggunaan cairan oral oleh anak-anak,
misalnya dalam formulasi obat cair oral bagi anak-anak penambahan penawar rasa
dan zat warna dilakukan untuk daya tarik, sehingga mempermudah pemberian obat
dan meningkatkan kepatuhan.
h. Tidak mampu membeli obat
Ketidakpatuhan
sering terjadi dengan penggunaan obat yang relatif mahal, pasien akan lebih
enggan mematuhi instruksi penggunaan obat yang lebih mahal.
i.
Pasien
lupa dalam pengobatan.
j.
Kurangnya
pengetahuan terhadap kondisi penyakit, pentingnya terapi dan petunjuk
penggunaan obat.
Pasien
biasanya mengetahui relatif sedikit tentang kesakitan mereka, apalagi manfaat
dan masalah terapi yang diakibatkan oleh obat.Biasanya pasien menetapkan
pikiran sendiri berkenaan dengan kondisi dan pengharapan yang berkaitan dengan
efek terapi obat.Jika terapi tidak memenuhi harapan, mereka cenderung tidak
patuh.Oleh karena itu diperlukan edukasi pada pasien tentang kondisi
penyakitnya, manfaat serta keterbatasan terapi obat.
Dari
beberapa faktor pendorong terjadinya ketidakpatuhan, apoteker memiliki peran
untuk meningkatkan kepatuhan pasien dengan memberikan informasi tentang
pentingnya pengobatan pada keadaan penyakit pasien.Selain itu, diperlukan juga
komunikasi yang efektif antara dokter dan apoteker sehingga upaya penyembuhan
kondisi penyakit pasien dapat berjalan dengan baik.
5.
Pemilihan
Obat
Keputusan untuk
melakukan upaya terapi diambil setelah diagnosis ditegakkan dengan benar.Obat
yang dipilih untuk mengobati setiap kondisi harus yang paling tepat dari yang
tersedia.Banyak reaksi merugikan dapat dicegah, jika dokter serta pasien
melakukan pertimbangan dan pengendalian yang baik.Pasien yang bijak tidak
menghendaki pengobatan yang berlebihan. Pasien akan bekerjasama dengan dokter
untuk menyeimbangkan dengan tepat keseriusan penyakit dan bahaya obat. Dengan
demikian obat yang dipilih haruslah yang memiliki efek terapi sesuai dengan
spektrum penyakit.
6.
Interaksi
Obat
Interaksi obat
adalah peristiwa dimana kerja obat dipengaruhi oleh obat lain yang diberikan
bersamaan atau hampir bersamaan. Efek obat dapat bertambah kuat atau berkurang
karena interaksi ini akibat yang dikehendaki dari interaksi ini ada dua
kemungkinan yakni meningkatkan efek toksik atau efek samping atau berkurangnya
efek klinik yang diharapkan. Interaksi obat dapat terjadi sebagai berikut:
1) Obat-Makanan
Interaksi
obat-makanan perlu mendapat perhatian dalam kegiatan pemantauan terapi obat.
Ada 2 jenis yang mungkin terjadi:
a.
Perubahan
parameter farmakokinetik (absorpsi dan eliminasi). Misalnya, obat antibiotik
tidak boleh dicampur dengan susu karena akan membenuk ikatan sehingga obat tdak
dapat diabsorbsi dan menurunkan efektifitas.
b. Perubahan dalam efikasi terapi obat
(misalnya, makanan protein tinggi meningkatkan kecepatan metabolisme
teophillin). Sebagai tambahan, banyak obat diberikan pada saat lambung kosong.
Sebaliknya, terapi obat dapat mengubah absorpsi secara merugikan dari
penggunaan suatu bahan gizi.
2) Obat-Uji Laboratorium
Interaksi
obat-uji laboratorium terjadi apabila obat mempengaruhi akurasi uji
diagnostik.Interaksi ini dapat terjadi melalui gangguan kimia.Misalnya,
laksatif antrakuinon dapat mempengaruhi uji urin untuk urobilinogen atau oleh
perubahan zat yang diukur.Apabila mengevaluasi status kesehatan pasien apoteker
harus mempertimbangkan efek terapi obat pada hasil uji diagnostik.
3) Obat-Penyakit
Interaksi
obat-penyakit juga merupakan masalah yang perlu dipantau.Apoteker harus
mengevaluasi pengaruh efek merugikan suatu obat pada kondisi medik pasien.Dalam
pustaka medik, interaksi obat-penyakit sering disebut sebagai kontraindikasi
absolut dan relatif.Misalnya, penggunaan kloramfenikol dapat menyebabkan anemia
aplastik, dan penggunaan antibiotik aminoglikosida dapat menyebabkan
nefrotoksik.
4) Obat-Obat
Interaksi antara
obat-obat merupakan masalah yang perlu dihindari.Semua obat termasuk obat non
resep harus dikaji untuk interaksi obat.Apoteker perlu mengetahui interaksi
obat-obat yang secara klinik signifikan.Suatu interaksi dianggap signifikan
secara klinik jika hal itu mempunyai kemungkinan menyebabkan kerugian atau
bahaya pada pasien.Interaksi antar obat dapat berakibat merugikan atau
menguntungkan.Interaksi obat dianggap penting secara klinik bila berakibat
meningkatkan toksisitas dan/atau mengurangi efektivitas obat yang berinteraksi,
terutama bila menyangkut obat dengan batas keamanan yang sempit.
Adapun kasus masing-masing kategori DRPs yang mungkin
terjadi dapat dilihat pada Tabel
2.1
Tabel 2.1Jenis-jenis DRPs dan penyebab yang mungkin terjadi
DRPs
|
Kemungkinan kasus pada DRPs
|
Butuh terapi obat tambahan
|
1. Pasien dengan kondisi terbaru
membutuhkan terapi obatnya yang terbaru
2. Pasien
dengan
kronik
membutuhkan lanjutan terapi obat
3. Pasien
dengan
kondisi
kesehatan
yang membutuhkan
kombinasi farmakoterapi
untuk mencapai
efek sinergisataupotensiasi
4. Pasien
dengan
resiko pengembangan kondisi
kesehatan baru dapat
dicegah
dengan penggunaanobatprofilaksis
|
Terapi obat yang tidak perlu
|
1. Pasien
yang mendapatkan
obat yang tidak tepat indikasi
2. Pasien yang mengalami toksisitas
karena obat atau hasil pengobatan
3. Pengobatan
pada pasien pengkonsumsi
obat,alkohol dan rokok
4. Pasien dalam kondisi pengobatan yang
lebih baik di obati tanpa terapi obat
5. Pasien dengan multiple drugs untuk kondisi dimana hanya sigle drug therapy dapat di gunakan
6. Pasien
dengan
terapi obat
untuk penyembuhan dapat menghindari
reaksi yang merugikan dengan pengobatan lainnya
|
Obat tidak tepat
|
1. Pasien
di mana obatnya tidak efektif
2. Pasien
alergi
3.
Pasien penerima
obat yang tidak
paling
efektif untuk
indikasi pengobatan
4. Pasien dengan
faktor resiko pada kontraindikasi
penggunaan
obat
e.Pasien menerima
obat yang
efektif tetapi
ada obat lain
yanglebihmurah
f.
Pasienmenerima
obat efektif
tetapi tidak aman
g.Pasienyangterkenainfeksiresistenterhadapobatyang diberikan
|
Dosis terlalu rendah
|
1. Pasien
menjadi sulit disembuhkan dengan terapi obat yang digunakan
2. Pasien menerima
kombinasi
produk yag tidak
perlu dimana single drug dapat
memberikan
pengobatan
yang tepat
3. Pasien
alergi
4. Dosis yang digunakan terlalu rendah untuk
menimbulkan respon
5. Konsentrasi
obat
dalam
serum pasien
di bawah range
terapeutikyang diharapkan
6. Waktu
prophylaksis
(preoperasi)
antibiotik diberikan
terlalucepat
7. Dosisdan fleksibilitas
tidakcukup
untuk pasien
8. Terapi obat
berubah sebelum
terapetik percobaan
cukupuntuk
pasien
9. Pemberian
obat terlalu
cepat
|
Reaksi obat merugikan
|
1. Pasien
dengan
faktor resiko yang berbahaya
bila
obat digunakan
2. Ketersediaan
dari obat
dapat menyebabkan
interaksi dengan obat
lainatau makanan
pasien
3. Efek dari obat
dapat
diubah
oleh substansi
makanan pasien
4. Efek dari obat di ubah enzym inhibitor
atau induktor dari obat lain
5. Efek dari obat
diubah dengan pemindahan
obat
dari
bindingsite oleh obat lain
6. Hasil
laboratorium dapat berubah karena gangguan obat lain
|
Dosis telalu tinggi
|
1. Dosis terlalutiggi
2. Konsentrasi obat dalam serum pasien diatas srange terapi obat yang diharapkan
3. Dosis obat meningkat terlalu
cepat
4. Obat, dosis, rute, perubahan formulasi
yang tidak tepat.
5. Dosis dan interval
flexibility
tidak tepat
|
Ketidakpatuhan
pasien
|
1. Pasien
tidak menerima aturan pemakaian obat yang tepat (penulisan, obat, pemberian,
pemakaian)
2. Pasien tidak menuruti
(ketaatan) rekomendasi
yang diberikan untuk
pengobatan
3. Pasien
tidak mengambil obat
yang diresepkan
karena harganya
mahal
4. Pasien
tidak mengambil beberapa
obat
yang diresepkan karena kurang
mengerti
Pasien tidak
mengambil
beberapa
obat
yang diresepkan secara konsisten
karena merasa sudah sehat
|
(Cipolle, etal., 2004)
2.5
Studi
Kasus DRP (Drug Related Problem)
Dalam
ranah farmasi klinik-komunitas, apoteker pada hakikatnya memiliki tugas primer
yaitu mengidentifikasi dan menangani DRPs ini agar tercapai pengobatan yang
rasional dan optimal. Secara ringkas langkah-langkah untuk mengidentifikasi dan
menangani DRPs adalah sebagai berikut :
1.
Menentukan
klasifikasi permasalahan terapi obat yang terjadi
2.
Menentukan
penyebab terjadinya DRPs
3.
Menentukan
tindakan intervensi yang paling tepat terhadap DRPs
4.
Melakukan
assesmen (penilaian) terhadap intervensi yang telah dilakukan untuk evaluasi
2.6
Kasus
CONTOH ANALISA KASUS DRP
Kasus
1
Seorang pria 42 tahun dengan
diabetes melitus tipe 2 dan hipertensi dirujuk ke klinik untuk assassment
(penilaian) mixed hyperlipidemia yang ditemukan dalam pemeriksaan
rutinnya. Hasil pemeriksaan fisik yang dilakukan di klinik menunjukan hasil
yang biasa. Pasien tidak memiliki xanthomatous. Riwayat keluarga ada
yang menderita diabetes melitus tipe 2. Pengobatan saat ini ramipril, glyburide,
dan hydroclorthiazide. Hasil analisis sampel darah (puasa) kolesterol total
356,34 mg/dL, total trigliserida 5927,4 mg/dL, HDL-c 23,4 mg/dL, TSH 0,94
mIU/L. Urea, kreatininm elektrolit, bilirubin, AST, ALT normal. HbA1c 9,5%.
Kemudian dokter meresepkan fenofibrate, metformin, dan rosuvastatin termasuk
ramipril, glyburide, dan hydroclorothiazide. Empat minggu kemudian lipid profil
pasien mengalami peningkatan. Hasil laboratorium menunjukkan kadar kolesterol
total 213,45 mg/dL, trigliserida 825,5 mg/dL, HDL-c 37,05 mg/dL. Dengan terus
dilakukan follow up, 3 bulan kemudian kolesterol total 145,9 mg/dL,
trigliserida 330,4 mg/dL, HDL-c 27,84 mg/dL.
Penyelesaian
A. Subjek
Pria berusia 55 tahun
1.
Past Medical History
ü
Diabetes melitus tipe 2
ü
Hipertensi
2.
Medication History (Dosis tidak dicantumkan di dalam jurnal)
ü
Ramipril
ü
Glyburide
ü
Hydrochlorothiazide
3.
Physical Examination
ü
Results of our
physical examination were unremarkable
B. Objek
Data Laboratorium (Puasa)
Saat pertama
|
Nilai uji
|
Nilai normal
|
Kolestrol Total
|
536.34 mg/dL
|
146.94 - 201.08
mg/dL
|
Trigliserida
|
5927.4 mg/dL
|
31.15 - 151.3 mg/dL
|
HDL-c
|
23.4 mg/dL
|
35.1 - 93.6 mg/dL
|
TSH
|
0.94 mIU/L
|
0.49 - 4.67 mIU/L
|
HbA1c
|
9.5%
|
< 6,5%
|
Urea, kreatininm elektrolit, bilirubin, AST, ALT normal
|
||
4 minggu kemudian
|
||
Kolestrol Total
|
213.45 mg/dL
|
146.94 - 201.08
mg/dL
|
Trigliserida
|
825.5 mg/dL
|
31.15 - 151.3 mg/dL
|
HDL-c
|
37.05 mg/dL
|
35.1 - 93.6 mg/dL
|
3 minggu kemudian
|
||
Kolestrol Total
|
145.9 mg/dL,
|
146.94 - 201.08
mg/dL
|
Trigliserida
|
330.4 mg/dL
|
31.15 - 151.3 mg/dL
|
HDL-c
|
27.84 mg/dL
|
35.1 - 93.6 mg/dL
|
C.
Assassment
Pasien mempunyai riwayat penyakit
diabetes melitus tipe 2 dan hipertensi. Glyburide (dosis tidak dicantumkan)
digunakan untuk terapi diabetes pasien. Ramipril dan hydroclorothiazide (dosis
tidak dicantumkan) digunakan untuk terapi hipertensi pasien. Berdasarkan data
diatas, kolesterol total dan trigliserida pasien sangat tinggi sementara kadar
HDL-c dibawah normal. Menurut NCEP (National Cholestrol Education
Program) kolesterol total normal < 200 mg/dL, trigliserida normal <
150 mg/dL, dan HDL-c 35-93 mg/dL. Hal ini mengindikasikan bahwa pasien
menderita hiperlipidemia (mixed hyperlipidemia). Diabetes melitus tipe 2 yang
diderita pasien merupakan salah satu penyebab terjadinya hiperlipidemia sekunder
karena kondisi tersebut dapat menyebabkan meningkatnya level VLDL dan
menurunkan HDL (Rader & Hobbs, 2012). Menurut Koda-Kimble et al
(2005), pemakaian obat hipertensi golongan tiazid juga menyebabkan peningkatan
kolestrol 5-7% dan peningkatan trigliserida 30-50%. Sementara menurut Martin et
al. 2009, pasien dengan kadar trigliserida > 2001,77 mg/dL semuanya
hampir memiliki hiperlipidemia sekunder dan primer. Dokter meresepkan
fenofibrate (dosis tidak dicantumkan) untuk mengatasi hiperlipidemia. Saat pemeriksaan
HbA1c pasien sebesar 9,5% maka dokter memberi metformin (dosis tidak
dicantumkan) tambahan obat untuk diabetes pasien. Rusovastatin (dosis tidak
dicantumkan) untuk terapi mixed hyperlipidemia.
D.
Plan
Tujuan terapi yang ingin dicapai dalam
pengobatan adalah penurunan kadar kolesterol total dan trigliserida,
meningkatkan kadar HDL-c, menormalkan kadar gula darah dan tekanan darah tinggi
serta mengurangi resiko pertama atu berulang dari infark miokardiak, angina,
gagal jantung, stroke iskemia, dan kejadian lain pada penyakit arterial
(karotid stenosis atau aortik abdominal)
1. Terapi hiperlipidemia
ü Fenofibrate
Dosis inisial yang biasa digunakan dalam terapi mixed
hyperlipidemia yaitu sebesar 300 mg per hari dan dapat ditingkatkan menjadi
400 mg perhari. Dosis pemeliharan 200 mg per hari. Obat diminum setelah makan.
ü Rusovastatin
Dosis inisial yang biasa digunakan
yaitu 20 mg per hari. Range dosis 5 – 40 mg per hari dan tidak lebih dari 40 mg
perhari. Obat sebelum atau setelah makan.
2. Terapi hipertensi
ü Ramipril
Dosis pemeliharaan yaitu 2,5-5 mg per hari diminum pagi
sebelum atau setelah makan.
ü Hidrochlortiazide
Dosis yang biasanya digunakan yaitu 12,5 mg per hari diminum
pagi sebelum atau setelah makan.
3. Terapi
Diabetes melitus tipe 2
ü Glyburide
Dosis pemeliharaan yaitu 1,25 – 20 mg per hari diminum
segera sebelum makan.
ü Metformin
Dosis pemeliharan yaitu 500 mg 1 – 2 kali perhari diminum setelah
makan.
Drug
Related Problem
dalam Kasus 1
Pasien dengan mixed hyperlipidemia ,
diabetes metitus tipe 2 dan hipertensi dalam kasus ini menerima 6 macam obat
dalam pengobatannya. Walaupun dokter tetap melakukan follow up terhadap pasien
tersebut, analisis DRP tetap harus dilakukan untuk mencegah pasien mengalami
kegagalan terapi dan kejadian DRP yang dapat merugikan pasien. Adapun analisis
DRP antara lain: indikasi tanpa obat, obat tanpa indikasi, ketidaktepatan
pemilihan obat, kelebihan dosis obat, interaksi obat, efek samping obat, dan
kegagalan pasien menerima terapi.
1.
Indikasi
tanpa obat
Pasien menderita mixed
hyperlipidemia, diabetes melitus tipe 2, dan hipertensi. Dari data hasil
laboratorium dan pemeriksaan fisik tidak ditemukan adanya indikasi penyakit
lain.
2.
Obat tanpa
indikasi
Enam jenis obat yang digunakan
(glyburide, ramipril, hydrochlortiazide, fenofibrate, rusovostatin, dan
metformin) diindikasikan untuk mengobati mixed hyperlipidemia, diabetes
melitus tipe 2, dan hipertensi. Tidak ditemukan obat tanpa indikasi dalam kasus
ini.
3. Ketidaktepatan pemilihan obat
Ketidaktepatan pemilihan obat pada
pasien artinya ada pemberian obat yang tidak efektif, seperti produk obat tidak
efektif berdasarkan kondisi medisnya atau obat bukan paling efektif untuk
mengatasi penyakit. Rusovostatin efektif menurunkan kadar kolesterol total dan
LDL dan merupakan terapi utama untuk mayoritas pasien hiperlipidemik. Namun
dalam kasus tertentu dapat ditambahkan agen hipolipidemik lain untuk mencapai
tujuan terapi yang lebih agresif. Oleh sebab itu, Fenofibrate ditambahkan
karena memiliki kemampuan menurunkan kadar VLDL. Mekanisme kunci obat golongan
fibrat adalah dengan meningkatkan lipolisis, meningkatkan asupan lemak
hati dan menurunkan produksi trigliserida hati, meningkankan asupan LDL oleh
reseptor LDL, dan menstrimulasi transpor balik sehingga meningkatkan HDL.
Fibrat utamanya digunakan pada pasien yang hanya mengalami peningkatan
trigliserida dan juga digunakan dalam terapi mixed hyperlipidemia,
terutama jika HDL rendah. Kombinasi golongan statin dan fibrat meningkatkan
resiko miopati bermakna, pertimbangan pemilihan obat baru seperti ezetimid
mungkin akan lebih tepat.
Glyburide golongan sulfonil urea
dapat menurunkan HbA1C sebesar ~ 1,5% dengan menstimulasi sekresi insulin.
Metformin memiliki efek utama metformin adalah menurunkan “hepatic glucose
output” dan menurunkan kadar glukosa puasa. Monoterapi dengan metformin
dapat menurunkan HbA1C sebesar ~ 1,5%. Algoritma pengelolaan diabetes melitu tipe
2 menurut ADA/EASD yang pertama yaitu dengan intervensi pola hidup dan
metformin. Bila belum maksimal maka obat kedua dapat ditambahkan agar HbA1C
pasien < 7%, konsensus menganjurkan penambahan sulfonilurea atau insulin.
Pemilihan kombinasi glyburide dan metformin sebagai antidiabetes melitus tipe 2
dinilai cukup tepat.
Terapi hipertensi dalam kasus ini
menggunakan ramipril dan hydrochlortiazide. Ramipril adalah antihipertensi
golongan ACEi yang merupakan vasodilator yang menghambat angiotensin II (vasokonstriktor
kuat). Penghambatan pembentukan angiotensin II akan menurunkan tekanan darah.
Jika sistem angiotensin-renin-aldonsteron teraktivasi (misalnya pada keadaaan
penurunan sodium, atau terapi diuretik) efek antihipertensi ACEi akan lebih
besar. Oleh karena itu dalam kasus itu menggunakan kombinasi ramipril
dengan hydrochlorothiazide. Pasien diabetes memerlukan kombinasi antihipertensi
untuk mencapai target tekanan darah optimal. ACEi merupakan terapi pilihan
karena dapat mencegah progresi mikroalbuminoria ke nefropati. Selain itu,
penggunaan beta-blocker tidak lagi direkomendasikan oleh NICE karena
kurang efektif untuk mengurangi resiko diabetes terutama untuk pasien yang
mendapatkan diuretik tiazid.
4. Dosis obat kurang dan berlebih
Dalam kasus ini hanya terdapat data
jenis kelamin dan usia pasien, tidak dicantumkan berapa dosis yang digunakan
dan juga tidak tersedia data berat badan pasien. Penilaian apakah dosis yang
diberikan oleh dokter kurang atau berlebih sangat sulit dilakukan, kerena
perhitungan dosis tidak dapat dilakukan. Namun, apabila dokter memberikan dosis
obat-obat tersebut dalam jumlah dan range dosis lazimnya maka dapat dikatakan
tidak terjadi kekurangan dan kelebihan dosis obat. Mengingat kondisi organ
pasien dalam keadaan baik (dilihat dari data laboratorium dan pernyataan dokter
mengenai pemeriksaan fisik) maka tidak perlu dilakukan penyesuaian dosis.
5. Interaksi obat
Obat A
|
Obat B
|
Tingkat
|
Interaksi
|
Fenofibrate
|
Rosuvastatin
Glyburide
|
Serius
Signifikan
|
Meningkatkan efek
karena sinergisme farmakodinamik. Fenofibrate dapat meningkatkan risiko
rhabdomyolysis ketika di kombinasi dengan statin untuk menurun trigliserida
dan meningkatkan HDL. Jika tetap digunakan maka lakukan monitoring dengan
ketat. Gunakan alternatif obat lain (ezetimibe).
Fenofibrate meningkatkan efek dari
glyburide dengan berkompetisi membentuk ikatan protein plasma.
Signifikan interaksi dapat terjadi, lakukan monitoring.
|
Rosuvastatin
|
Glyburide
|
Signifikan
|
Glyburide meningkatkan toksisitas
rosuvastatin. Merupakan inhibitor OATP1B1, dapat meningkatkan risiko myopathy.
Lakukan monitoring.
|
Hydrochloro-thiazide
|
Metformin
|
Minor / tidak signifikan
|
Hydrochlorothiazide akan
meningkatkan efek metformin melalui mekanisme kompetisi klirens tubular
ginjal.
|
Ramipril
|
Glyburide
|
Signifikan interaksi mungkin
terjadi
|
Ramipril meningkatkan efek
glyburide melalui aksi sinergisme farmakodinamik. Monitoring dengan ketat.
|
6. Efek
samping
Obat
|
Efek samping
|
Keterangan
|
Fenofibrate
|
Nyeri otot, myopathi, myositis,
diare, flatulance, pankreatitis, ulser peptik, kolelitiasis, depresi CNS,
disarithmia, pulmonari emboli, gangguan ginjal, anemia, leukopenia.
|
Pasien diingatkan tentang efek samping yang
mungkin terjadi. Efek yang mungkin terjadi berbeda antar invidu, tergantung
dengan respon tubuh.
|
Rosuvastatin
|
Keluhan
abdominal ringan, ruam kulit, gatal, nyeri kepala, nyeri otot, kejang otot,
lelah, dan gangguan tidur. Kenaikan konsentrasi transminase. Efek samping
yang jarang terjadi: rhabdomiolisis dan miopati.
|
|
Hydrochlorothiazide
|
Anafilaksis,
aneroksia, kebingungan, gangguan hematopoetik, pusing, gangguan lambung,
kelelahan, sakit kepala, hiperkalemia, hiperkolestro, hiperurisemi,
hipotensi, metabolik asidosis, nausea, pankreatitis, vertigo, dan vomitting.
|
|
Metformin
|
Batuk,
hipotensi, pusing, angina pektoris, sakit kepala, vomitting, vertigo,
abnormalitas fungsi ginjal, dan diare.
|
|
Glyburide
|
Gangguan
saluran cerna, sakit kepala, gejala hematologik, trombositopenia, agranulositosis,
anemia aplastik (jarang). Gangguan fungsi hati dan ginjal pada pasien lanjut
usia
|
|
Ramipril
|
Neutropenia,
agranulosis, proteinuria, glomerulusnefrosis, gagal ginjal akut.
|
7. Kegagalan terapi
Tidak
ditemukan kegagalan terapi dalam kasus ini, sejauh follow up yang
dilakukan oleh dokter pasien terus mengalami perkembangan peningkatan profil
lipid. Kegagalan terapi dalam suatu pengobatan dapat disebabkan oleh faktor
psikososial, ketidakmampuan ekonomi, kurangnya pemahaman pasien tentang terapi
yang dia lakukan, dosis yang tidak sesuai, dan pasien menggunakan obat lain
tanpa sepengetahuan dokter. Kegagalan terapi juga dapat disebabkan oleh petugas
kesehatan yang tidak memberitahu cara penggunaan obat dengan benar.
Kasus 2
Resep
25 maret 2017
R/ Metformin
500 XLV
S 3 dd 1
R/ Glibenklamide
5 XV
S 1 dd 1
S 3 dd 1
R/
furosemid X
S ½-0-0
R/ BC XLV
S 3 dd 1
R/ Amlodipin
5 XV
S 1 dd 1
R/ Na-diklofenak
50 XXX
S 0-0-1
R/ Simvastatin
10 XV
S 0-0-1
Pro : Tn. SS (66 tahun)
1.
Analisa
1) Anamnesa/
diagnose
Pasien dinyatakan mengalami diabetes mellitus,
hipertensi, hiperkolesterolemia, ostheoartritis, dan sindrom dispepsia.
2) Analisa resep
Dalam kasus ini pasien menerima 8 item obat, sebagai
berikut :
a. Metformin,
antidiabetes golongan biguanid
b. Glibenklamide,
antidiabetes golongan sulfonylurea
d. Furosemid,
antihipertensi golongan loop diuretic
e. BC/ vitamin B
kompleks, suplemen kekurangan vitamin B
f. Amlodipin,
antihipertensi golongan pemblok kanal kalsium (CCB)
g. Na-diklofenak,
antiinflamasi nonsteroid
h. Simvastatin,
antihiperlipidemia golongan statin
Kombinsai
metformin dan glibenklamid pada kasus pasien diagnose lain berupa hipertensi
diperbolehkan. Seperti halnya pada kasus resep nomor 2. Dosis kombinasi kedua obat tersebut juga
masih dalam batas aman. Dimana dosis maksimum keduanya adalah 20 mg/hari untuk
glibenkalmid, dan 2000 mg/hari untuk metformin. (Dipiro; 1369, 1384, 1385).
Penanganan
hipertensi dalam kasus ini digunakan kombinasi 3 antihipertensi, yaitu captopril (ACE
inhibitor), furosemid (loop diuretik), dan amlodipin (Pemblok kanal
kalsium).Kombinasi tersebut diperbolehkan.Dosis furosemid merupakan dosis terendah
yaitu 20 mg, dengan waktu pemberian yang tepat yaitu pada pagi hari.Sedangkan
dosis captopril merupakan
dosis maksimum yaitu 150 mg/hari, dalam dosis terbagi 3. Sedangkan amlodipin
yang diberikan adalah dosis menengah, yaitu 5 mg/hari, lazimnya 2,5-10 mg/hari.
Perlu diperhatikan pasien telah cukup lanjut usianya (66 tahun), captopril
diberikan pada dosis maksimum dikombinasi dengan furosemid, dan amlodipin, akan
berpotensi menimbulkan efek hipotensi. Dengan pemberian furosemid, pasien akan
mengalami diuresis, yang berarti volume darah menurun dan menurun pula tekanan
darahnya, sedangkan pemberian ACE inhibitor dapat menyebabkan penurunan tekanan
darah melalui berbagai mekanisme yang terlibat dalam pengaturan sistem
rennin-angiotensin-aldosteron (RAAS), sehingga resiko hipotensinya semakin
meningkat, terlebih pada pasien yang telah lanjut usia, ditambah dengan
kombinasi dengan amlodipin. Tekanan darah harus senantiasa dipantau. (Dipiro:
233-234)
Meski ada
kemungkinan lain, bahwa maksud penggunaan furosemid dalam dosis rendah adalah
untuk mengatasi resiko efek samping amlodipin, berupa udema perifer. Amlodipin
dapat menyebabkan terjadinya udema perifer, dengan pemberian furosemid, maka
aktivitas urinary meningkat, sehingga tidak terjadi udema perifer.
Natrium
diklofenak digunakan untuk mengobati gejala nyeri akibat
osteoarthritis.Diklofenak merupakan antiinflamasi nonsteroid (AINS)
nonselektif.Dosis yang diberikan adalah dosis tunggal pada malam hari sebesar
50 mg.
Sebagaimana
AINS nonselektif lainnya, diklofenak dapat menginduksi terjadinya ulkus
peptikum, sedangkan dalam diagnosanya dokter telah menyatakan bahwa pasien
mengalami sindrom dispepsia. Meskipun efek buruk yang disebabkan diklofenak
pada saluran cerna tidak sekuat aspirin, namun pemilihan obat lain yang lebih
aman, perlu dipertimbangkan, mengingat pasien telah dinyatakan mengalami
sindrom dispepsia. (Dipiro; 1131)
Dalam kasus
ini, pasien telah didiagnose sindrome dispepsia, dan mendapat terapi AINS yang
dapat memperparah sindrom tersebut, namun pasien tidak mendapat obat untuk
indikasi ini.Tak ada obat yang diberikan untuk mengobati sindrom dispepsianya.
Simvastatin
dosis tunggal pada malam hari 10 mg, untuk terapi hiperlipidemia.Penggunaan
simvastatin pada penderita diabetes diperbolehkan. Pemberian vitamin B
kompleks, yang mengandung asam nikotinat, akan membentu menghambat pembentukan
kolesterol dan trigliserida, sehingga akan membantu menekan kadar lipid dalam
darah. (BNF 57; 539)
Interaksi yang mungkin terjadi
a. Amlodipin
(pemblok kanal kalsium) dan captopril (ACE inhibitor) yang digunakan
bersama-sama, cenderung berinteraksi menyebabkan efek hipotensif, ACE inhibitor juga akan bekerja pada sistem
kanal kalsium, meski tidak secara langsung, begitu pun dengan furosemid.
2.
Saran
Dari uraian diatas dapat disarankan :
1) Kombinasi captopril, furosemid, dan amlodipin, perlu dipantau efeknya, ada baiknya dosis
captopril dikurangi
3) Pasien perlu
diberi obat untuk mengatasi sindrome dispepsianya, terlebih dalam resep
tersebut terdapat obat-obat yang menimbulkan efek-efek yang tidak menyenangkan
pada saluran cerna, berupa iritasi lambung (natrium-diklofenak), mual, muntah,
diare (metformin dan glibenklamid). Ranitidine dan antiemetic seperti domperidon atau metoklopramid mungkin perlu
diberikan.
4) Pasien juga
harus diingatkan untuk senantiasa melakukan terapi non farmakologis, berupa
diet makanan rendah karbohidrat, lemak, dan garam.
5) Pasien juga
harus menghindari konsumsi rokok dan atau alcohol
6) Olah raga
ringan secara teratur sangat dianjurkan
BAB III
PENUTUP
3.1 KESIMPULAN
Kesimpulan yang dapat diambil dari makalah ini adalah sebagai berikut:
1.
Drug
Related Problems merupakan suatu kejadian yang
tidak diharapkan dan pengalaman pasien akibat atau diduga akibat terapi obat
sehingga kenyataannya/potensial mengganggu keberhasilan penyembuhan yang
dikehendaki.
2.
Terdapat dua komponen penting dalam DRPs yaitu Kejadian atau resiko yang
tidak diharapkan yang dialami oleh pasien dan ada hubungan atau diduga ada
hubungan antara kejadian yang tidak diharapkan yang dialami oleh pasien dengan
terapi obat
3.
Menurut Cipolle et al,1998 kategori DRP adalah:
a. Membutuhkan obat tetapi
tidak menerimanya
b. Menerima obat tanpa indikasi
yang sesuai
c. Menerima obat salah
d. Dosis terlalu rendah
e. Dosis terlalu tinggi
f. Pasien mengalami ADR
g. Kepatuhan
4. Data yang
penting mengenai pasien dapat digolongkan dalam tiga kategori:
a. Karakter
klinis dari penyakit atau kondisi pasien
b. Obat lain yang
dikonsumsi pasien
c. Penyakit,
keluhan, gejala pasien
5.
Pharmaceutical Care Network Europe (The PCNE
Classification V5.01) mengelompokkan masalah terkait obat sebagai berikut:
a.
Reaksi obat yang tidak dikehendaki/ROTD (Adverse
Drug Reaction/ADR)
b.
Masalah pemilihan obat (Drug choice problem)
c.
Masalah pemberian dosis obat (Drug dosing problem)
d.
Masalah pemberian/penggunaan obat (Drug
use/administration problem)
e.
Interaksi obat (Interaction)
f.
Masalah lainnya (Others)
6.
Klasifikasi
DRP meliputi: Indikasi, Efektivitas, Keamanan, Kepatuhan, Pemilihan Obat,
Interaksi Obat.
7.
langkah-langkah
untuk mengidentifikasi dan menangani DRPs adalah sebagai berikut :
a.
Menentukan
klasifikasi permasalahan terapi obat yang terjadi
b.
Menentukan
penyebab terjadinya DRPs
c.
Menentukan
tindakan intervensi yang paling tepat terhadap DRPs
d.
Melakukan
assesmen (penilaian) terhadap intervensi yang telah dilakukan untuk evaluasi
3.2 SARAN
Penyusun mengharapkan kritik
dan saran dari pembaca untuk kebaikan kedepannya agar penyusun dapat menyajikan karya
tulis yang lebih baik lagi.
DAFTAR PUSTAKA
BNF. 2009. British National Formulary, Edisi
57, British Medical Association Royal Pharmacetical of Great Britain, England.
Dipiro.JT., 2009, Pharmacoterapy Handbook
7th edition, Mc Graw Hill, New York.
Cipolle, R., Strand, L.M., Morley, P.C., 1998, Pharmaceutical Care,
McGraw-Hill, New York.
Cipolle, R., Strand, L.M., Morley, P.C., 1992, Pharmaceutical Care An
Introduction Current Concept, McGraw-Hill, New York.
Hepler, CD, Strand, LM 1990, ‘Opportunities
and Responsibilities in Pharmaceutical Care’, American Journal of Hospital Pharmacy, 47,
pp.533-543.
PCNE. 2006. Classification for Drug
Related Problems V5.01. Europe: Pharmaceutical Care Network Europe
Foundation.
Rovers, J.P., Currie, J.D., Hagel, H.P., McDonough, R.P., Sobotka, J.L.
Eds., 2003, A Practical Guide to Pharmaceutical Care,2nd Ed., American
Pharmaceutical Association, Washington, D.C.
Strand,
MD, Morley, PC, Cipolle, RJ, Ramsey, R, Lamsam, GD 1990, ‘Drug-Related
Problems: Their Structure and function’, DICP
the Annals of Pharmacotherapy, vol. 24, pp. 1094-1096.
Komentar
Posting Komentar