laporan praktikum analgetik

Brebes, Jawa Tengah

PERCOBAAN III
ANALGETIKA

A.  Tujuan
Mengenal, mempraktikan dn membandingkan daya analgetika antalgin dan parasetamol menggunakan metode rangsangan kimia.
B.  Dasar teori
Obat analgesik adalah obat yang dapat mengurangi atau menghilangkan rasa nyeri dan akhirnya akan memberikan rasa nyaman pada orang yang menderita. Nyeri adalah perasaan sensoris dan emosional yang tidak nyaman,berkaitan dengan ancaman kerusakan jaringan. Rasa nyeri dalam kebanyakan halhanya merupakan suatu gejala yang berfungsi sebagai isyarat bahaya tentangadanya gangguan di jaringan seperti peradangan, rematik, encok atau kejang otot (Tjay, 2007).
Reseptor nyeri (nociceptor) merupakan ujung saraf bebas, yang tersebar di kulit, otot, tulang, dan sendi. Impuls nyeri disalurkan ke susunan saraf pusat melalui dua jaras, yaitu jaras nyeri cepat dengan neurotransmiternya glutamat dan jaras nyeri lambat dengan neurotransmiternya substansi P (Guyton & Hall, 1997;Ganong, 2003).
Semua senyawa nyeri (mediator nyeri) seperti histamine, bradikin, leukotriendan prostaglandin merangsang reseptor nyeri (nociceptor )di ujung-ujung saraf bebasdi kulit, mukosa serta jaringan lain dan demikian menimbulkan antara lain reaksiradang dan kejang-kejang. Nociceptor ini juga terdapat di seluruh jaringan dan organtubuh, terkecuali di SSP. Dari tempat ini rangsangan disalurkan ke otak melalui jaringan lebat dari tajuk-tajuk neuron dengan sangat banyak sinaps via sumsum- belakang, sumsum-lanjutan dan otak-tengah. Dari thalamus impuls kemudianditeruskan ke pusat nyeri di otak besar, dimana impuls dirasakan sebagai nyeri (Tjaydan Rahardja, 2007).
Rasa nyeri dalam kebanyakan hal hanya merupakan suatu gejala yang berfungsi melindungi tubuh. Nyeri harus dianggap sebagai isyarat bahaya tentang adanya ganguan di jaringan, seperti peradangan, infeksi jasad renik, atau kejang otot. Nyeri yang disebabkan oleh rangsangan mekanis, kimiawi atau fisis dapat menimbulkan kerusakan pada jaringan. Rangsangan tersebut memicu pelepasan zat-zat tertentu yang disebut mediator nyeri. Mediator nyeri antara lain dapat mengakibatkan reaksi radang dan kejang-kejang yang mengaktivasi reseptor nyeri di ujung saraf bebas di kulit, mukosa dan jaringan lain. Nocireseptor ini terdapat diseluruh jaringan dan organ tubuh, kecuali di SSP. Dari sini rangsangan di salurkan ke otak melalui jaringan lebat dari tajuk-tajuk neuron dengan amat benyak sinaps via sumsumtulang belakang, sumsum lanjutan, dan otak tengah. Dari thalamus impuls kemudian diteruskan ke pusat nyeri di otak besar, dimana impuls dirasakan sebagai nyeri (Tjay, 2007).
Demam pada umumnya adalah suatu gejala dan bukan merupakan penyakit. Para ahli berpendapat demam adalah suatu reaksi yang berguna bagi tubuh terhadap suhu, pasca suhu di atas 37oC. Limfosit akan menjadi lebih aktif pada suhu melampaui 45oC, barulah terjadi situasi kritis yang bisa berakibat fatal, tidak terkendali lagi oleh tubuh. (Tjay Hoan Tan, 2007)
Demam terjadi jika “ set point “ pada pusat pengatur panas di hipotalamus anterior meningkat. Hal ini dapat di sebabkan oleh sintesis PEG yang di rangsang bila suatu zat penghasil demam endogen (pirogen) seperti sitokinin di lepaskan dari sel darah putih yang di aktivasi oleh infeksi, hipersensitifitas, keganasan atau inflamasi. Salisilat  menurunkan suhu tubuh si penderita demam dengan jalan menghalangi sintesis dan pelepasan PEG. (Mycek J. Mary, 2001)
Medicetator nyeri yang penting adalah mista yang bertanggung jawab untuk kebanyakan reaksi. Akerasi perkembangan mukosa dan nyeri adalah polipeption (rangkaian asam amino) yang dibentuk dari protein plasma. Prosagilandin mirip strukturnya dengan asam lemak dan terbentuk dari asam-asam anhidrat. Menurut perkiraan zat-zat bertubesiset vasodilatasi kuat dan meningkat permeabilitas kapiler yang mengakibatkan radang dan nyeri yang cara kerjanya serta waktunya pesat dan bersifat local. (Tjay Hoan Tan, 2007)
Prostgilandin di duga mensintesis ujung saraf terhadap efek kradilamin, histamine dan medikator kimia lainnya yang dilepaskan secara local oleh proses inflamasi. Jadi, dengan menurunkan sekresi PEG, aspirin dan AIN lainnya menekan sensasi rasa sakit. (Mycek J. Mary, 2001)
                     
Berdasarkan aksinya, obat-abat analgetik dibagi menjadi 2 golongan yaitu :
a.       Analgesik Nonopioid/Perifer (Non-Opioid Analgesics)
Secara farmakologis praktis dibedakan atas kelompok salisilat (asetosal, diflunisal) dan non salisilat. Sebagian besar sediaan–sediaan golongan non salisilat ternmasuk derivat as. Arylalkanoat (Gilang, 2010).
b.      Analgesik Opioid/Analgesik Narkotika
Analgesik opioid merupakan kelompok obat yang memiliki sifat-sifat seperti opium atau morfin. Golongan obat ini terutama digunakan untuk meredakan atau menghilangkan rasa nyeri. Tetap semua analgesik opioid menimbulkan adiksi/ketergantungan.

Ada 3 golongan obat ini yaitu(Medicastore,2006) :
1)      Obat yang berasal dari opium-morfin
2)      Senyawa semisintetik morfin
3)      Senyawa sintetik yang berefek seperti morfin.

Mekanisme Kerja Obat Analgesik

a.       Analgesik Nonopioid/Perifer (Non-Opioid Analgesics)
Obat-obatan dalam kelompok ini memiliki target aksi pada enzim, yaitu enzim siklooksigenase (COX). COX berperan dalam sintesis mediator nyeri, salah satunya adalah prostaglandin. Mekanisme umum dari analgetik jenis ini adalah mengeblok pembentukan prostaglandin dengan jalan menginhibisi enzim COX pada daerah yang terluka dengan demikian mengurangi pembentukan mediator nyeri . Mekanismenya tidak berbeda dengan NSAID dan COX-2 inhibitors. Efek samping yang paling umum dari golongan obat ini adalah gangguan lambung usus, kerusakan darah, kerusakan hati dan ginjal serta reaksi alergi di kulit. Efek samping biasanya disebabkan oleh penggunaan dalam jangka waktu lama dan dosis besar.

b.      Analgesik Opioid/Analgesik Narkotika
Mekanisme kerja utamanya ialah dalam menghambat enzim sikloogsigenase dalam pembentukan prostaglandin yang dikaitkan dengan kerja analgesiknya dan efek sampingnya. Kebanyakan analgesik OAINS diduga bekerja diperifer . Efek  analgesiknya telah kelihatan dalam waktu satu jam setelah pemberian per-oral. Sementara efek antiinflamasi OAINS telah tampak dalam waktu satu-dua minggu pemberian, sedangkan efek maksimalnya timbul berpariasi dari 1-4 minggu. Setelah pemberiannya peroral, kadar puncaknya NSAID didalam darah dicapai dalam waktu 1-3 jam setelah pemberian, penyerapannya umumnya tidak dipengaruhi oleh adanya makanan. Volume distribusinya relatif kecil (< 0.2 L/kg) dan mempunyai ikatan dengan protein plasma yang tinggi biasanya (>95%). Waktu paruh eliminasinya untuk golongan derivat arylalkanot sekitar 2-5 jam, sementara waktu paruh indometasin sangat berpariasi diantara individu yang menggunakannya, sedangkan piroksikam mempunyai waktu paruh paling panjang (45 jam).

Mekanisme kerja antalgin :
Antalgin termasuk derivat metasulfonat dari amidopiryn yang mudah larut dalam air dan cepat diserap ke dalam tubuh. Bekerja secara sentral pada otak untuk menghilangkan nyeri, menurunkan demam dan menyembuhkan rheumatik. Antalgin merupakan inhibitor selektif dari prostaglandin F2α yaitu: suatu mediator inflamasi yang menyebabkan reaksi radang seperti panas, merah, nyeri, bengkak, dan gangguan fungsi yang biasa terlihat pada penderita demam rheumatik dan rheumatik arthritis. Antalgin mempengaruhi hipotalamus dalam menurunkan sensifitas reseptor rasa sakit dan thermostat yang mengatur suhu tubuh (Lukmanto, 1986).

MONOGRAFI
Pemerian               :Serbuk hablur putih atau putih kekuningan
Kelarutan              : Larut dalam air dan HCl 0,02 N
Penyimpanan         : Dalam wadah tertutup baik ( Anonim, 1995 )
Khasiat                  : Analgetik
Dosis                     : 500 mg ( Anonim, 1979 )

Mekanisme kerja Paracetamol :
Parasetamol menghambat siklooksigenase sehingga konversi asam arakhidonat menjadi prostaglandin terganggu. Setiap obat menghambat siklooksigenase secara berbeda (Wilmana, 1995). Parasetamol menghambat siklooksigenase pusat lebih kuat dari pada aspirin, inilah yang menyebabkan parasetamol menjadi obat antipiretik yang kuat melalui efek pada pusat pengaturan panas. Parasetamol hanya mempunyai efek ringan pada siklooksigenase perifer (Dipalma, 1986). Inilah yang menyebabkan parasetamol hanya menghilangkan atau mengurangi rasa nyeri ringan sampai sedang. Parasetamol tidak mempengaruhi nyeri yang ditimbulkan efek langsung prostaglandin, ini menunjukkan bahwa parasetamol menghambat sintesa prostaglandin dan bukan blokade langsung prostaglandin. (Wilmana, 1995).

MONOGRAFI
Pemerian               : serbuk hablur, putih; tidak berbau; rasa sedikit pahit
Kelarutan              : Larut dalam air mendidih , mudah larut dalam etanol.
Penyimpanan         : Dalam wadah tertutup rapat tidak tembus cahaya (Anonim,1995).
Khasiat                  : Analgetik, antipiretik.
Dosis                     : 500 – 2000 mg per hari (Anonim, 1979).

  

C.    Alat dan Bahan
1.  Alat
a.)    Jarum berujung tumpul ( jarum per Oral )
b.)    Sarung tangan.
c.)    Stop watch.
d.)   Keranjang.
e.)    Lap / Serbet.
f.)     Baker glas.
2.  Bahan
a.)    Mencit
b.)    Suspensi antalgin 1 % dalam tilosa 1%
c.)    Suspensi paracetamol 1% dalam tilosa 1%
d.)   Larutan steril asam asetat 1%
e.)    alkohol
















D.    Cara Kerja
Hewan Uji/ Mencit
 


-       Diambilmasing masing- masng 2 ekor mencit yang sudah ditandai untuk perlakuan oral obat antalgin dan paracetamol
-       Amati reaksi obat antalgin dan parasetamol dengan metode jentik ekor pada mencit  setelah pemberian obat.
-       Ditunggu waktu mencit mengangkat ekor dari air panas sebagai waktu respon
-       Dicatat waktu lamanya mencit menerima respon
-       Dibuat table hasil pengamatan lengkap
-      
Hasil
Dibandingkan hasilnya dengan menggunakn uji statistik analisa varian pola searah taravkeprcayaan 95 %.

















E.  Hasil

1.      Tabel . Hasil perhitungan onset dan durasi
M
MO
Onset
M1
M2
M3
Parasetamol
25
18
8
Antalgin
30
31
18

Perhitungan ANOVA
Perlakuan
X1
X2
X3
X12
X22
X32


Parasetamol
25
18
8
625
324
64


Antalgin
30
31
18
900
961
324


Tc
55
49
26



(∑X)
130
Nc
2
2
2



N
6
Jml kuadrat



1525
1285
388
∑(X)2
3198

·      Jumlah kuadrat perlakuan (SST)
SST = = S  
                          =
                          =   – 2816.6
                          =  3051 – 2816.6
                          =  234.4
·      Jumlah kuadrat kesalahan
SSE   = 
                          = 3198 – 3051
                          = 147
·      Keseragaman total (SS TOTAL)
SS Total = SST + SSE
                                = 234.4 + 147  = 381.4




Masukan kedalam table ANOVA
Sumber keragaman
Jumlah kuadrat
Derajat bebas
Kuadrat tengah (1)/(2)
Antar perlakuan


SST= 234.4
Dk1= K-1
       = 2-1
       = 1
MSTR = SST/dk 1
            =
           = 234.4
Kesalahan
(dalam perlakuan)
SSE= 147
Dk2= N-K
       = 6-2
       =4
MSE   = SSE/dk2
           =
           = 36.75
SS TOTAL
381.4



·      F hitung =  =   = 6.37
·      F Tabel   = 7.708
·      F tabel pada  α = 0,05 dk 1 = 2 dan dk 2 = 6 adalah 7.708
·      F hitung (6.37) < F Tabel (7.708)
Kesimpulan : Ho diterima,
Tidak ada perbedaan yang nyata antara rata-rata hitung dari berbagai cara pemberian obat.


F.      PEMBAHASAN

Mahasiswa melakukan praktikum farmakologi dengan materi analgetik. Tujuan dari praktikum ini adalah mengenal, mempraktikan dn membandingkan daya analgetika antalgin dan parasetamol menggunakan metode rangsangan kimia pada hewan uji mencit sehingga kita dapat membandingkan daya analgetika dari obat- obat tersebut.
Analgetik atau obat penghalang nyeri adalah zat-zat yang mengurangi atau melenyapkan rasa nyeri tanpa menghilangkan kesadaran (berbeda dengan anastesi umum).
Percobaan ini menggunakan metode Witkin ( Writhing Tes / Metode Geliat ), dengan prinsip yaitu menimbulkan geliat ( Writhing ), sehingga dapat diamati respon mencit ketika menahan nyeri pada perut dengan cara menelupkan ujung ekor mencit pada air panas. Dengan pemberian obat analgetik (paracetamol dan antalgin)  akan mengurangi respon tersebut.
Larutan stok dibuat dengan mensuspensikaan tablet paracetamol dan antalgin, karena bahan obat sukar larut di dalam air dengan suspending agent CMC Na. Digunakan konsentrasi CMC Na yang rendah 0,5% agar suspensi tidak terlalu kental sehingga mudah untuk mengambil suspensi dengan spuit oral dan mudah masuk ke dalam esofagus mencit.Pemberian obat-obat analgetik pada mencit dilakukan secara peroral,setiap mencit diberikan suspensi obat yang berbeda, sebagai kontrol negatif diberikan CMC Na, setelah obat diberikan mencit didiamkan selama 30 menit.
Percobaan ini dibagi 2 kelompok yaitu kelompok 1 menggunakan obat analgetik parasetamol dan kelompok II antalgin, setiap kelompok menggunakan 3 mencit untuk diperlakukan sama memberikan obat secara peroral, lalu tunggu selama 30 menit kira kira sampai obat terabsorbsi secara penuh.
Kelompok 1 mendapatkan hasil pada mencit1 25 kali jentikn ekor, mencit 2 18 kali jentikan ekor, mencit3 8 kali jentikan dan pada kelompok II mencit1 30 kali, mencit2 31 kali, mencit3 18 kali
Setelah dilakukan percobaan didapatkan hasil bahwa urutan obat yang memiliki daya analgetik paling tinggi atau kuat adalah parasetamol lalu antalgin. Hasil yang didapat setelah diuji dengan menggunakan tabel ANOVA yang kemudian didapat hasil “Ho diterima”, artinya pemberian obat analgetik yang berbeda pada hewan uji mencit tidak akan mempengaruhi frekuensi geliat mencit, sesuai dengan efektivitas obat sebagai analgetik, yaitu antalgin dan parasetamol.
Hasil ini juga kurang sesuai dengan teori, karena yang seharusnya memiliki efek analgetik yang lebih kuat adalah antalgin, karena  absorbsinya lebih cepat di lambung, sementara indikator nyeri juga diberikan pada lambung.  Kemudian diikuti oleh parasetamol, karena hanya mempunyai efek ringan pada siklooksigenase perifer.
Antalgin termasuk derivat metasulfonat dari amidopiryn yang mudah larut dalam air dan cepat diserap ke dalam tubuh. Bekerja secara sentral pada otak untuk menghilangkan nyeri, menurunkan demam dan menyembuhkan rheumatik. Antalgin merupakan inhibitor selektif dari prostaglandin F2α yaitu: suatu mediator inflamasi yang menyebabkan reaksi radang seperti panas, merah, nyeri, bengkak, dan gangguan fungsi yang biasa terlihat pada penderita demam rheumatik dan rheumatik arthritis. Antalgin mempengaruhi hipotalamus dalam menurunkan sensifitas reseptor rasa sakit dan thermostat yang mengatur suhu tubuh.
Parasetamol menghambat siklooksigenase sehingga konversi asam arakhidonat menjadi prostaglandin terganggu. Setiap obat menghambat siklooksigenase secara berbeda. Parasetamol menghambat siklooksigenase pusat lebih kuat dari pada aspirin, inilah yang menyebabkan parasetamol menjadi obat antipiretik yang kuat melalui efek pada pusat pengaturan panas. Parasetamol hanya mempunyai efek ringan pada siklooksigenase perifer. Inilah yang menyebabkan parasetamol hanya menghilangkan atau mengurangi rasa nyeri ringan sampai sedang. Parasetamol tidak mempengaruhi nyeri yang ditimbulkan efek langsung prostaglandin, ini menunjukkan bahwa parasetamol menghambat sintesa prostaglandin dan bukan blokade langsung prostaglandin.
Mekanisme kerja nyeri, yaitu perangsang rasa nyeri baik mekanik maupun kimiawi, panas maupun listrik akan menimbulkan kerusakan pada jaringan sel sehingga sel-sel tersebut melepaskan suatu zat yang disebut mediator nyeri yang akan merangsang reseptor nyeri.
Rangsangan mekanik yaitu nyeri yang disebabkan karena pengaruh mekanik seperti tekanan, tusukan jarum, insan pisau, dll. Rangsangan termal, yaitu nyeri yang disebabkan karena pengaruh suhu rata-rata manusia akam merasakan nyeri jika menerima panas diatas 45oC, dimana pada suhu tersebut jaringan akan mengalami kerusakan.  Rangsangan kimia yaitu jaringan yang akanmengalami kerusakan aka membebaskan zat yang disebu mediator yang dapat berkaitan dengan reseptor nyeri antara lain, biokonin, serokinin, dan prostaglandin. Mediator nyeri penting adalah histamin karen yang bertanggung jawab atas kebanyakan reasi alergi. Biokonin adalah rangkaian asam amino yang disebut protein plasma.
Nyeri merupakan suatu mekanisme pelindung tubuh mekanik untuk melandasi dan memberikan tanda bahaya tentang daya gangguan ditubuh. Mekanisme adalah rangsangan diterima oleh reseptor nyeri diubah dalam bentuk impuls yang dihantarkan kepusat nyeri ke korteks otak. Setelah diproses dipusat nyeri, impuls dikembalikan ke perifer dalam bentuk persepsi nyeri.
Penyimpangan ini dapat terjadi karena beberapa faktor, yaitu ketika pemberian oral tidak menggunakan spuit jarum oral sehingga obat tidak mudah masuk dalam esophagus saat disemprotkan sehingga mengurangi dosis obat analgetik yang diberikan, faktor fisiologis dari mencit, yang mengalami beberapa kali percobaan sehingga kemungkinan mencit stress, , pengambilan larutaan stock yang tidak dikocok dahulu, sehingga dosis yang diambil tiap spuit berbeda, karena larutan stock yang dibuat adalah bentuk sediaan suspensi, seharusnya dalam pengambilan dikocok terlebih dahulu, agar bahan obat yang diambil, bukan hanya larutannya dan yang terakhir tidak di puasakan mencit yang akan di uji, Sebelum perlakuan mencit (Mus musculus) terlebih dahulu dipuasakan untuk menghilangkan faktor makanan karena interaksi makanan bisa mempengaruhi pemberian obat kepada hewan perlakuan hewan uji mencit (Mus musculus). Walaupun demikian faktor variasi biologisnya dari hewan tidak dapat dihilangkan sehingga faktor ini relative dapat memengaruhi hasil praktikum yang dilakukan di laboratorium.





.


G. KESIMPULAN
Dari praktikum yang telah dilakukan dapat disimpulkan, sebagai berikut :
1.    Analgetik adalah senyawa yang dalam dosis terapeutik dan meringankan atau menekan rasa nyeri, tanpa memiliki kerja anastesi umum.
2.    Pada pemberian obat antalgin, dan paracetamol secara oral, dapat memberikan efek atau dampak analgetikum dengan di tandainya adanya pengangkatan ekor pada mencit (Mus musculus) pada saat ekor dicelupkan dalam air panas diatas pada suhu 55oC.
3.    Daya analgetik yang paling tinggi diantara obat uji adalah antalgin.
4.    Faktor yang mempengaruhi efek terapeutik analgetik antara lain rute pemberia, kondisi fisik dan puasa atau tidaknya mencit




DAFTAR PUSTAKA

Anonim, 1979, Farmakope Indonesia edisi 3, Departemen Kesehatan Republik
Indonesia, Jakarta.

Anief, Moh, 1995, Perjalanan Dan Nasib Obat Dalam Badan, Gadjah Mada Univ Press.
Anonim, 1999, Majalah Farmasi Indonesia Vol 10 No 04, Mandiri Jaya Offset, Yogyakarata.
Ganiswara, Sulistia G (Ed), 2008, Farmakologi dan Terapi, Edisi Revisi V, Balai Penerbit Falkultas, Kedokteran Universitas Indonesia, Jakarta.
Gibson, G.Gordon Dan Paul Skett, 1991, Pengantar Metabolisme Obat, UI Presss, Jakarta.
Katzung, Bertram G., Farmakologi Dasar dan Klinik, Salemba Medika, Jakarta.
La Du, BR, Mandel, H.G. dan Way, E.L,1971, Fundamentals of drug Metabolism and drugDispositin. The Williamns & Wilkins company, Baltimore, pp 149-578.
Tjay Hoan Tan, 2007 .“Obat-obat penting”. PT Alex media ; Jakarta

Komentar

Postingan populer dari blog ini

kunci determinasi kunyit

MAKALAH TEKNIK SAMPLING