laporan PENGARUH CARA PEMBERIAN OBAT TERHADAP ABSORBSI OBAT

Brebes, Jawa Tengah

PRAKTIKUM I
PENGARUH CARA PEMBERIAN OBAT
TERHADAP ABSORBSI OBAT

A.      Tujuan Paraktikum
Mahasiswa dapat mengenal, mempraktikan dan membandingkan cara -cara pemberian obat terhadap kecepatan absorbsinya menggunakan data farmakologi sebagai tolak ukurnya.

B.       Dasar Teori
Absorbsi merupakan proses masuknya obat dari tempat pemberian kedalam darah. Bergantung pada cara pemberiannya, tempat pemberian obat adalah saluran cerna (mulut sampai dengan rectum), kulit, paru, otot, dan lain-lain. Absorbsi sebagian besar obat secara difusi pasif, maka sebagai barier absorbsi adalah membran epitel saluran cerna yang seperti halnya semua membran sel epitel saluran cerna , yang seperti halnya semua membran sel ditubuh kita, merupakan lipid bilayer. Dengan demikian , agar dapat melintasi membran sel tersebut, molekul obat harus memiliki kelarutan lemak (setelah terlebih dulu larut dalam air).
Selain pemberian topikal untuk mendapatkan efek lokal pada kulit atau membran mukosa, penggunaan suatu obat hampir selalu melibatkan transfer obat ke dalam aliran darah. Tetapi, meskipun tempat kerja obat tersebut berbeda-beda, namun bisa saja terjadi absorpsi ke dalam aliran darah dan dapat menimbulkan efek yang tidak diinginkan. Absorpsi ke dalam darah dipengaruhi secara bermakna oleh cara pemberian.
Cara-cara pemberian obat untuk mendapatkan efek terapeutik yang sesuai adalah sebagai berikut:
Cara/bentuk sediaan parenteral
1.    Intravena (IV) (Tidak ada fase absorpsi, obat langsung masuk ke dalam vena, “onset of action” cepat, efisien, bioavailabilitas 100 %, baik untuk obat yang menyebabkan iritasi kalau diberikan dengan cara lain, biasanya berupa infus kontinu untuk obat yang waktu-paruhnya (t1/2) pendek).
2.    Intramuskular (IM) (“Onset of action” bervariasi, berupa larutan dalam air yang lebih cepat diabsorpsi daripada obat berupa larutan dalam minyak, dan juga obat dalam sediaan suspensi, kemudian memiliki kecepatan penyerapan obat yang sangat tergantung pada besar kecilnya partikel yang tersuspensi: semakin kecil partikel, semakin cepat proses absorpsi). 
3.    Subkutan (SC) (“Onset of action” lebih cepat daripada sediaan suspensi, determinan dari kecepatan absorpsi ialah total luas permukaan dimana terjadi penyerapan, menyebabkan konstriksi pembuluh darah lokal sehingga difusi obat tertahan/diperlama, obat dapat dipercepat dengan menambahkan hyaluronidase, suatu enzim yang memecah mukopolisakarida dari matriks jaringan).
4.    Intratekal (berkemampuan untuk mempercepat efek obat setempat pada selaput otak atau sumbu serebrospinal, seperti pengobatan infeksi SSP yang akut) (Anonim, 1995).
5.    Intraperitonel (IP) tidak dilakukan pada manusia karena bahaya (Anonim, 1995).
Rute pemberian obat (Routes of Administration) merupakan salah satu faktor yang mempengaruhi efek obat, karena karakteristik lingkungan fisiologis anatomi dan biokimia yang berbeda pada daerah kontak obat dan tubuh karakteristik ini berbeda karena jumlah suplai darah yang berbeda, enzim-enzim dan getah-getah fisiologis yang terdapat di lingkungan tersebut berbeda. Hal-hal ini menyebabkan bahwa jumlah obat yang dapat mencapai lokasi kerjanya dalam waktu tertentu akan berbeda, tergantung dari rute pemberian.
Memilih rute penggunaan obat tergantung dari tujuan terapi, sifat obatnya serta kondisi pasien. Oleh sebab itu perlu mempertimbangkan masalah-masalah seperti berikut:
1.    Tujuan terapi menghendaki efek lokal atau efek sistemik.
2.    Apakah kerja awal obat yang dikehendaki itu cepat atau masa kerjanya lama.
3.    Stabilitas obat di dalam lambung atau usus.
4.    Keamanan relatif dalam penggunaan melalui bermacam-macam rute.
5.    Rute yang tepat dan menyenangkan bagi pasien dan dokter.
6.    Harga obat yang relatif ekonomis dalam penyediaan obat melalui  bermacam-macam rute.
7.    Kemampuan pasien menelan obat melalui oral.
Bentuk sediaan yang diberikan akan mempengaruhi kecepatan dan besarnya obat yang diabsorpsi, dengan demikian akan mempengaruhi pula kegunaan dan efek terapi obat. Bentuk sediaan obat dapat memberi efek obat secara lokal atau sistemik. Efek sistemik diperoleh jika obat beredar ke seluruh tubuh melalui peredaran darah, sedang efek lokal adalah efek obat yang bekerja setempat misalnya salep (Anief, 1990).
Durasi paling cepat adalah peroral, intraperitonial, intramuscular, subkutan. Hal ini terjadi karena :
1.    Peroral, karena melalui saluran cerna yang memiliki rute cukup panjang dan banyak factor penghambat maka konsentrasi obat yang terabsorbsi semakin sedikit dan efek obat lebih cepat.
2.    Intraperitonial, disini obat langsung masuk ke pembuluh darah sehingga efek yang dihasilkan lebih cepat dibandingkan intramuscular dan subkutan karena obat di metabolisme serempak sehingga durasinya agak cepat.
3.    Intramuscular, terdapat lapisan lemak yang cukup banyak sehingga obat akan konstan dan lebih tahan lama.
4.    Subkutan, terdapat lapisan lemak yang paling banyak sehingga durasi lebih lama disbanding intramuscular.
Peningkatan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi bidang kesehatan dibarengi dengan peningkatan kebutuhan akan hewan uji terutama mencit. Penggunaan mencit ini dikarenakan relatif mudah dalam penggunaanya, ukurannya yang relatif kecil, harganya relatif murah, jumlahnya peranakannya banyak yaitu sekali melahirkan bisa mencapai 16-18 ekor, hewan itu memiliki sistem sirkulasi darah yang hampir sama dengan manusia serta tidak memiliki kemampuan untuk muntah karena memiliki katup dilambung. Sehingga banyak digunakan untuk penelitian obat.
Perbedaan antara mencit dan manusia cukup besar. Memang suatu percobaan farmakologi maupun toksikologi hanya dapat berarti bila dilakukan pada manusia sendiri. Tetapi pengalaman telah membuktikan bahwa hasil percobaan farmakologi pada hewan coba dapat diekstrapolasikan pada manusia bila beberapa spesies hewan pengujian menunjukkan efek farmakologi yang sama.
Semakin meningkat cara pemeliharaan, semakin sempuran pula hasil percobaan yang dilakukan. Dengan demikian, apabila suatu percobaan dilakukan dengan hewan percobaan yang liar, hasilnya akan berbeda bila menggunakan hewan percobaan konvensional ilmiah maupun hewan yang bebas kuman.
Cara memegang hewan serta cara penentuan jenis kelaminnya perlu pula diketahui. Cara memegang hewan dari masing-masing jenis hewan adalah berbeda-beda dan ditentukan oleh sifat hewan, keadaan fisik (besar atau kecil) serta tujuannya. Kesalahan dalam caranya akan dapat menyebabkan kecelakaan atau hips ataupun rasa sakit bagi hewan (ini akan menyulitkan dalam melakukan penyuntikan atau pengambilan darah, misalnya) dan juga bagi orang yang memegangnya. Berikut adalah cara pemberian sediaan uji/pemejaan pada hewan uji:
1.    Pemberian oral
Masukan jarum suntik tumpul berisi larutan suspensi/emulsi senyawa uji yang sesuai dengan ukuran hewan melalui mulut dengan cara menelusurkan searah tepi langit-langit ke arah belakang sampai esophagus, kemudian semprotkan senyawa uji pelan-pelan.
2.    Pemberian intravena
Dilakukan dengan cara memasukan hewan uji ke dalam holden/sangkar. Selanjutnya celupkan ekornya ke dalam air hangat (dilatasi vena lateralis). Setelah vena mengalami dilatasi, pegang ekor dengan kuat pada posisi vena berada di permukaan sebelah atas, selanjutnya tusukan jarum dengan ukuran yang sesuai ke dalam vena sejajar dengan vena.
3.    Pemberian intraperitoneal
Dilakukan dengan cara memegang hewan uji dengan kulit punggung dijepit sehingga daerah perut terasa tegang. Basahi daerah perut dengan kapas beralkohol kemudian tusukan jarum suntik sejajar dengan salah satu kaki hewan pada daerah perut, lebih kurang 1 cm di atas kelamin. Semprotkan senyawa uji. Setelah selesai pemberian, tarik pelan-pelan jarum suntik, tekan tempat suntikan dengan kapas beralkohol, hati-hati jangan sampai terkena hati, kandung kencing dan usus.
4.    Pemberian intramuscular
Dilakukan dengan memegang hewan uji dengan kulit punggung dijepit sehingga daerah perut terasa tegang. Usapkan daerah otot paha posterior dengan kapas beralkohol. Suntikan larutan senyawa uji pada daerah otot tersebut. Setelah selesai cabut pelan-pelan jarum suntik dan tekan daerah suntikan.
Pethidine merupakan obat jenis analgetik opioid. Opioid adalah semua zat baik sintetik atau natural yang dapat berikatan dengan reseptor morfin. Opioid disebut juga sebagai anlgetika narkotikayang sering dalam anesthesia untuk mengendalikan nyeri saat pembedahan dan nyeri pasca pembedahan. Pethidine (meperidin, demerol) adalah zat sintetik yang formulanya sangat berbeda dengan morfin, tetapi mempunyai efek klinik dan efek samping yang mendekati sama. Secara kimia petidin adalah etil-1metil-fenilpiperidin-4-karboksilat. Bentuk sediaan injeksi ampul 50 mg/ml.
Meperidin (pethidine) secara farmakologik bekerja sebagai agonis reseptor m (mu). Seperti halnya morfin, meperidin (petidin) menimbulkan efek analgesia, sedasi, euforia, depresi nafas dan efek sentral lainnya. Waktu paruh petidin adalah 5 jam. Efektivitasnya lebih rendah dibanding morfin, tetapi leih tinggi dari kodein. Durasi analgesinya pada penggunaan klinis 3-5 jam. Dibandingkan dengan morfin, meperidin lebih efektif terhadap nyeri neuropatik. Perbedaan antara petidin (meperidin) dengan morfin sebagai berikut:
1.    Petidin lebih larut dalam lemak dibandingkan dengan morfin yang larut dalam air.
2.    Metabolisme oleh hepar lebih cepat dan menghasilkan normeperidin, asam meperidinat dan asam normeperidinat. Normeperidin adalah metabolit yang masih aktif memiliki sifat konvulsi dua kali lipat petidin, tetapi efek analgesinya sudah berkurang 50%. Kurang dari 10% petidin bentuk asli ditemukan dalam urin.
3.    Petidin bersifat atropin menyebabkan kekeringan mulut, kekaburan pandangan dan takikardia.
4.    Seperti morpin ia menyebabkan konstipasi, tetapi efek terhadap sfingter oddi lebih ringan.
5.    Pethidine cukup efektif untuk menghilangkan gemetaran pasca bedah yang tidak ada hubungannya dengan hipiotermi dengan dosis 20-25 mg i.v pada dewasa. Morfin tidak.
6.    Lama kerja petidin lebih pendek dibandingkan morfin.



C.      ALAT DAN BAHAN
1.    Alat
a)    Spuit injeksi dan jarum (1-2 ml)
b)   Jarum berujung tumpul (jarum per oral)
c)    Sarung tangan
d)   Stop watch
e)    Timbangan listrik
f)    Kranjang
g)   Lap/serbet
2.    Bahan
a)    Pethidine 50 mg/mL



 D.    CARA KERJA
Pemberian obat Pada mencit
 



-            Dibagi tiap kelompok 4 mencit.
-            Siapkan spuit dan pethidin injeksi
-           
Hasil
 
Dihitung onset dan durasi efek, bandingkan hasilnya.
 
Dihitung onset dan durasi efek, bandingkan hasilnya.
 
Dihitung onset dan durasi efek, bandingkan hasilnya menggunakan uji statistic analisa varian pola searah.
 
Dihitung onset dan durasi efek, bandingkan hasilnya menggunakan uji statistic analisa varian pola searah.
 
Injeksikan dengan Pethidin pada bagian kulit punggung mencit tersebut. Amati.

 
Injeksikan dengan Pethidin pada bagian perut diatas kmaluan 1 cm mencit tersebut

 
Injeksikan dengan Pethidin pada bagian otot paha mencit tersebut

 
Injeksikan dengan Pethidin pada bagian ekor mencit tersebut. Amati.

 
Usap bagian paha dengan alkohol
 
Usap bagian Perut dengan alkohol

 
Usap bagian ekor dengan alkohol
 
Usap bagian punggung dengan alkohol
 
Intra peritorial
 
Intravena
 
Subkutan
 
Intra muscular
 
Dilakukan injeksi pethidine pada mencit dengan cara pemberian sesuai dengan masing




























E.       HASIL PRAKTIKUM
Tabel. Hasil perhitungan onset dan durasi

Mencit
Onset
Durasi
IV
IM
IP
SC
IV
IM
IP
SC
1
3:00
3:00
3:00
2:00
4:00
6:00
10:00
8:00
2
4:00
2:00
2:00
1:00
7:00
5:00
9:00
8:00
3
2:00
3:00
2:00
1:00
8:00
4:00
9:00
8:00
4
1:00
3:00
2:00
1:00
5:00
5:40
10:00
5:00

Perhitungan ANOVA
a)    Onset
Pengaamatan
X1
X2
X3
X4
X12
X22
X32
X42


IV
3
4
2
1
9
16
4
1


IM
3
2
3
3
9
4
9
9


IP
3
2
2
2
9
4
4
4


SC
2
1
1
1
4
1
1
1


Tc
11
9
8
7




(∑X)2
35

4
4
4
4




N
16
Jumlah Kuadrat




31
25
18
15
∑(X)2
89
·      Jumlah kuadrat perlakuan (SST)
SST   = S  
                          =
                          =   76,56
                          =  78,7576,56
                          =  2,19
·      Jumlah kuadrat kesalahan
SSE   = 
                          = 89 78,75
                          = 10,25
              Keseragaman total (SS TOTAL)
SS Total = SST + SSE
                                = 2,19 + 10,25
                                = 12,44
·      Masukan kedalam table ANOVA
Sumber keragaman
Jumlah kuadrat
Derajat bebas
Kuadrat tengah (1)/(2)
Antar perlakuan


SST= 2,19
Dk1= K-1
       = 4-1
       = 3
MSTR = SST/dk 1
            =
           = 0,75
Kesalahan
(dalam perlakuan)
SSE= 10,25
Dk2= N-K
       = 16-4
       = 12
MSE   = SSE/dk2
           =
           = 0,85
SS TOTAL
12,44



·      F hitung =  =   = 0,88
·      F Tabel 3,49
·      F tabel pada  α = 0,05 dk 1 = 3dan dk 2 = 12 adalah 3,49
·      F hitung (0,88) < F Tabel (3,49)
Kesimpulan : Ho diterima, tidak ada perbedaan yang nyata antara rata-rata hitung dari berbagai cara pemberian obat.
b)   Durasi
Pengaamatan
X1
X2
X3
X4
X12
X22
X32
X42


IV
4
7
8
5
16
49
64
25


IM
6
5
4
5
36
25
16
25


IP
10
9
9
10
100
81
81
100


SC
8
8
8
5
64
64
64
25


Tc
28
29
29
25




(∑X)2
111

4
4
4
4




N
16
Jumlah Kuadrat




216
219
225
175
∑(X)2
835

·      Jumlah kuadrat perlakuan (SST)
SST   = S  
=
=   770,06
=  772,75770,06
=  2,69
·      Jumlah kuadrat kesalahan (SSE)
SSE   = 
= 835- 772,75
= 62,25
·      Keseragaman total  (SS total)
SS total  = SST +SSE
= 2.69 + 62,25
= 64,94


·      Masukan ke dalam tabel ANOVA
Sumber keragaman
Jumlah derajat
Derajat bebas
Kuadrat tengah (1)/(2)
Antar perlakuan


SST= 2,69
Dk1= K-1
       = 4-1
       = 3
MSTR = SST/dk 1
            =
           = 0,89
Kesalahan
(dalam perlakuan)
SSE= 62,25
Dk2= N-K
       = 16- 4
       = 12
MSE   = SSE/dk2
           =
          = 5,187
SS TOTAL
64,94



·      F hitung     =  = = 0,17
·      Ftabel Pada a   = 0,05  dk1=3              dk2=12 adalah 3,49
·      F hitung 0,17 < Fatbel 3,49
·      Kesimpulan     : Ho diterima, Tidak ada perbedaan yang nyata antara rata-rata hitung dari berbagai cata pemberian obat.






F.       PEMBAHASAN
Absorbsi adalah proses masuknya obat dari tempat pemberian kedalam darah. Bergantung pada cara pemberiannya, tempat pemberian obat adalah saluran cerna (mulut sampai dengan rectum), kulit, paru, otot, dan lain-lain.
Pada praktikum kali ini mempalajari tentang pengaruh cara pemberian obat terhadap absorpsi obat dalam tubuh (dalam hal ini pada tubuh hewan uji). Mencit dipilih sebagai hewan uji karena proses metabolisme dalam tubuhnya berlangsung cepat sehingga sangat cocok untuk dijadikan sebagai objek pengamatan. Sekedar informasi, selanjutnya mencit hanya disebut sebagai hewan uji.
Pemberian obat pada hewan uji yaitu pertama melalui intravena, intramuscular, subkutan, dan intraperitoneal. Pemberian obat secara intravena dilakukan dengan cara intravena yaitu dengan menyuntikkan obat pada daerah ekor (terdapat vena lateralis yang mudah dilihat dan dapat membuat obat langsung masuk kepembuluh darah). Kedua adalah dengan cara intramuscular yaitu dengan menyuntikkan obat pada daerah yang berotot seperti paha atau lengan atas, Ketiga dengan cara intraperitoneal (injeksi yang dilakukan pada rongga perut. (Cara ini jarang digunakan karena rentan menyebabkan infeksi). Yang keempat atau yang terkhir yaitu dengan cara subkutan (cara injeksi obat melalui tengkuk hewan uji tepatnya injeksi dilakukan dibawah kulit).
Obat yang digunakan untuk percobaan kali ini yaitu pethidine, Pethidine merupakan obat jenis analgetik opioid. Opioid adalah semua zat baik sintetik atau natural yang dapat berikatan dengan reseptor morfin. Opioid disebut juga sebagai anlgetika narkotikayang sering dalam anesthesia untuk mengendalikan nyeri saat pembedahan dan nyeri pasca pembedahan. Pethidine (meperidin, demerol) adalah zat sintetik yang formulanya sangat berbeda dengan morfin, tetapi mempunyai efek klinik dan efek samping yang mendekati sama. Efek samping meperidin dan derivat fenilpiperidin yang ringan berupa pusing, berkeringat, euforia, mulut kering, mual-muntah, perasaan lemah, gangguan penglihatan, palpitasi, disforia, sinkop dan sedasi. Secara kimia petidin adalah etil-1metil-fenilpiperidin-4-karboksilat. Bentuk sediaan injeksi ampul 50 mg/ml.
Metode tersebut diberikan pada 2 mecit dan dihitung berapa lama alokasi waktu mecit mengalami masa tenang, tidur dan bangun kembali dengan stopwatch. Sebelum mencit diberikan perlakuan usap bagian mencit yang akan diinjeksikan dengan kapas beralkohol. Dosis pethidine yang akan diberikan terhadap mencit adalah 1 mg/ml. Selanjutnya lakukan penginjeksian terhadap mencit sesuai perlakuan, baik intra vena, intra muscular, inra peritoneal, dan subcutan. Sehingga dapat diperoleh hasil onset dan durasi dari tiap-tiap mencit.
Dari hasil pengamatan kelompok-kelompok, diperoleh onset dan durasi yang berbeda. Onset merupakan waktu mulai timbulnya efek setelah pemberian obat. Durasi adalah waktu lamanya efek sampai efek obat tersebut hilang. Dari literatur berdasarkan onsetnya, injeksi dengan cara intravena memiliki waktu yang tercepat dan yang paling lambat adalah injeksi dengan pemberian subcutan. Dari data-data pengamatan dapat kita ketahui bahwa cara subcutan merupakan cara pemberian obat yang reaksinya paling cepat dan yang paling lambat adalah cara intra muscular. Ini tentunya berbeda dengan literatur atau bertolak belakang seharusnya intravena lah yang merupakan cara pemberian obat yang paling cepat di absorbsi, karna cara intravena yaitu cara pemberian obat langsung masuk kepembuluh darah, sehingga cara ini tentu saja lebih cepat memberikan efek karena tidak melalui proses absorbsi dulu untuk masuk kesistem sistemik dari pada cara-cara injeksi yang lain. Sedangkan cara subcutan merupakan cara pemberian obat yang melalui bawah kulit dan terdapat banyak lapisan kulit sehingga untuk menghasilkan efek atau dapat terabsorbsi lama. Kesalahan ini terjadi oleh beberapa pengaruh atau aspek misalnya berat badan yang tidak ditimbang dan pemberiaan obat rata menggunakan dosis yang sama, begitu juga hasil durasi yang tidak sesuai. Untuk durasinya, hasil pengamatan efek obat yang paling cepat hilang yaitu cara intramuscular dan yang efeknya lama yaitu cara intraparitorial.
Secara deskriptif  perbandingan data kelas yang menggunakan H0 = semua cara pemberian memberikan efek sama. Jika sig > 0,05 maka H0 diterima, dan jika sig < 0,05 kama H0 ditolak.
Perbandingan data kelas didapatkan F hitung 0,88 pada onset, dan 0,17 pada durasi. Keduanya lebih dari 3,49 sehingga H0 diterima yaitu semua cara pemberian memberikan efek yang sama. Hal tersebut menunjukkan bahwa secara umum berbagai cara pemberian (s.c, i.m, i.v, i.p) pada hasil percobaan tidak menunjukkan perbedaan yang bermakna pada taraf nyata 95% (p < 0,05).


.

G.    KESIMPULAN
Dari praktikum yang telah dilakukan dapat ditarik beberapa kesimpulan, sebagai berikut :
1.             Secara garis besar yaitu menunjukkan pemberian obat dengan cara intravena lebih cepat  daripada cara-cara lainnya dalam hal menimbulkan efek.
2.             Percobaan ini membuktikan pemberian dengan cara intraperitorial memiliki durasi yang paling lama.
3.             Peningkatan dosis dapat mempengaruhi onset dan durasi yang dihasilkan dari pada dosis awal yang diberikan.
4.             Berat badan dapat mempengaruhi onset dan durasi yang dihasilkan.
5.             Secara umum berbagai cara pemberian (p.o, i.m, i.v, i.p) pada hasil percobaan tidak menunjukkan perbedaan yang bermakna pada taraf nyata 95% (p < 0,05).





















H.       DAFTAR PUSTAKA
Anief, Moh., 2000, Ilmu Meracik Obat, Gadjah Mada University Press, hal.
Anonim, 1995, Farmakope Indonesia Edisi,IV, Depkes RI, Jakarta, hal.
Ansel, Howard.C., 1989 Pengantar Bentuk Sediaan Farmasi, Universitas Indonesia Press, Jakarta,hal.
Olson, James, 2000, Belajar Mudah Farmakologi, Jakarta : ECG
    































Komentar

Postingan populer dari blog ini

laporan praktikum analgetik

kunci determinasi kunyit

MAKALAH TEKNIK SAMPLING