makalah tenaga apoteker dan spesialis
PENGANTAR ILMU FARMASI
TENAGA APOTEKER DAN SPESIALIS
Disusun Oleh:
1. Dwi Lutfi Windiasari
E0014007
2. Dwi Purwanti
E0014036
3. Dzulfatul Ulwiyah
E0014008
4. Erlita Hidayatul.F
E0014037
5. Fahmi Saputro
E0014009
6. Firman Sidiq
E0014038
STIKes BHAKTI MANDALA SLAWI
Jl. Cut Nyak Dhien No.16, Desa Kalisapu, Kec. Slawi,
Kabupaten Tegal, Jawa Tengah -52416
email
stikes_bhamada @ yahoo.com
OKTOBER 2014
KATA PENGANTAR
Assalamualaikum wr. Wb
Puji syukur alhamdulillah kepada Allah SWT yang telah
melimpahkan Rahmat-Nya sehingga dapat menyelesaikan makalah tugas Pengantar
Ilmu Farmasi “TENAGA KEFARMASIAN” dengan baik dan benar.
Penulis menyampaikan ucapan terima kasih kepada Allah
SWT, Orang tua penulis, dan dosen Pengantar Ilmu Farmasi.
Tujuan pembuatan makalah ini selain untuk tugas Pengantar
Ilmu Farmasi juga dapat memberikan informasi dan ilmu bagi mahasiswa lain agar
lebih mengetahui tentang Farmasi.
Penulis menyadari bahwa dalam penyusunan makalah ini
masih banyak kekurangan. Untuk itu, mohon kritik dan saran sangat dinantikan guna penyempurnaan.
Slawi, Oktober 2014
Penyusun
DAFTAR ISI
Halaman
HALAMAN
JUDUL………………………………………………………….............. i
KATA PENGANTAR…………………………………………………………............. 1
DAFTAR ISI…………………………………………………………………................ 2
BAB I PENDAHULUAN……………………………………………............... 3
BAB II PEMBAHASAN………………………………………………………... 4
BAB III KESIMPULAN……………………………………………………......... 16
BAB IV DAFTAR PUSTAKA………………………………………….............. 17
BAB I
PENDAHULUAN
Tenaga kefarmasian dibagi menjadi apoteker dan tenaga
teknis kefarmasian. Tenaga teknis kefamasian dibagi menjadi apoteker, asisten
apoteker, dan ahli madya farmasi.
Masing- masing tenaga kefarmasian maupun tenaga teknis
kefarmasian memiliki peranan dan fungsi yang berbeda satu sama lain. Tapi semua
peranan dan fungsi berkaitan dengan dunia farmasi.
Semua yang dilakukan tenaga kefarmasian maupun tenaga
teknis kefarmasian diatur dalam Undamg- Undang Republik Indonesia Nomor 6 Tahun
1963 Tentang Tenaga Kesehatan.
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Pengertian
Dikutip dari PP 51 tahun 2009-Pekerjaan Kefarmasian
Tenaga
kefarmasian : tenaga yang melakukan pekerjaan kefarmasian, yang terdiri atas
apoteker dan tenaga teknis kefarmasian.
·
Apoteker :
sarjana farmasi yang telah lulus sebagai Apoteker dan telah mengucapkan sumpah
jabatan apoteker.
·
Tenaga teknis
kefarmasian : tenaga yang membantu apoteker dalam menjalani pekerjaan
kefarmasian yang terdiri atas sarjana farmasi, ahli madya farmasi, analisis
farmasi, dan tenaga menengah farmasi/asisten apoteker.
Peraturan Menteri Kesehatan nomor 889/MENKES/PER/V/2011 tentang Registrasi,
Izin Praktik, dan Izin Kerja Tenaga Kefarmasian. Tenaga
kefarmasian adalah tenaga yang melakukan pekerjaan kefarmasian, yang terdiri
atas Apoteker dan Tenaga Teknis Kefarmasian.
B.
Macam – macam
Tenaga Kefarmasian menurut PP.32/1996 adalah
Apoteker, Asisten Apoteker dan Ahli Madya Farmasi. Apoteker adalah seseorang
yang mempunyai keahlian dan kewenangan di bidang kefarmasian baik di apotek, rumah sakit, industri, pendidikan, dan
bidang lain yang masih berkaitan dengan bidang kefarmasian. Asisten
Apoteker yang dimuat dalam keputusan Menteri Kesehatan RI No.
1332/MENKES/SK/X/2002 adalah mereka yang berdasarkan peraturan
perundang-undangan yang berlaku berhak melakukan pekerjaan kefarmasian sebagai
Asisten Apoteker. Sedangkan asisten apoteker menurut pasal 1 Keputusan Menteri
Kesehatan RI No. 679/MENKES/SK/V /2003, tentang Registrasi dan Izin Kerja
Asisten Apoteker menyebutkan bahwa “Asisten Apoteker adalah Tenaga Kesehatan
yang berijasah Sekolah Menengah Farmasi, Akademi Farmasi Jurusan Farmasi
Politeknik Kesehatan, Akademi Analisis Farmasi dan Makanan Jurusan Analis
Farmasi dan Makanan Politeknik Kesehatan sesuai dengan peraturan
perundang-undangan yang berlaku. Ahli Madya (A.Md.) merupakan gelar vokasi yang diberikan kepada lulusan
program pendidikan diploma 3. Penyandang Gelar A.Md memiliki ketrampilan praktis
daripada teoritis. Pada proses belajarnya hampir seluruh mata kuliah pada
program D3 ini memiliki komposisi 30% teori dan 70% praktek. Pengajar pada
program D-3 minimum bergelar S-2.
C.
Fungsi tenaga kefarmasian
1. Apoteker
Berdasarkan PP No. 51 tahun 2009, Pekerjaan
kefarmasian adalah pembuatan termasuk pengendalian mutu sediaan farmasi,
pengamanan, pengadaan, penyimpanan dan pendistribusian atau penyaluran obat,
pengelolaan obat, pelayanan obat atas resep dokter, pelayanan informasi obat,
serta pengembangan obat, bahan obat dan obat tradisional.
a. Ada empat bidang pekerjaan dalam kefarmasian, antara
lain: Pengadaan sediaan farmasi,
yakni aktivitas pengadaan sediaan farmasi yang dilakukan pada fasilitas
produksi, distribusi, pelayanan, dan pengadaan sediaan farmasi sebagaimana yang
dimaksud harus dilakukan oleh tenaga kefarmasian.
b. Produksi sediaan farmasi. Syarat dari sebuah produksi
kefarmasian yakni harus memiliki apoteker penanggung jawab yang bisa dibantu
oleh Tenaga TeknisKefarmasian (TTK). Fasilitas produksi meliputi Industri
Farmasi Obat, Industri bahan Baku Obat, Industri Obat Tradisional, dan pabrik
kosmetika. Sedangkan jumlah apoteker penanggung jawab di industri farmasi
setidaknya terdiri dari 3 orang, yakni sebagai pemastian mutu, produksi, dan
pengawasan mutu. Untuk Industri Obat Tradisional dan kosmetika minimal terdiri
dari 1 orang.
c. Distribusi/penyaluran sediaan farmasi. Setiap fasilitas distribusi atau penyaluran sediaan farmasi berupa obat
harus memiliki seorang apoteker sebagai penanggung jawab yang dapat dibantu
oleh Apoteker Pendamping atau TTK.
d. Pelayanan sediaan farmasi yakni Fasilitas Pelayanan Kefarmasian yang berupa Apotik,
Instalasi Farmasi Rumah Sakit, Puskesmas, Klinik, Toko Obat dan Praktek bersama.Adanya pengaturan pekerjaan kefarmasian yang
terbagi dalam empat bidang diatas bertujuan untuk memberikan perlindungan
kepada pasien dan masyarakat dalam memperoleh dan/atau menetapkan sediaan farmasi serta jasa kefarmasian.
Selain itu juga untuk mempertahankan dan meningkatkan mutu penyelenggaraan
pekerjaan kefarmasian sesuai dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi
serta peraturan perundang-undangan dan memberikan kepastian hukum bagi pasien,
masyarakat
dan Tenaga Kefarmasian.
Dalam pekerjaannya, seorang
apoteker juga memiliki wewenang, antara lain dapat menyerahkan Obat Keras,
Narkotika dan Psikotropika kepada masyarakat atas resep dari dokter sesuai
dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Wewenang apoteker lainnya adalah
bila mendirikan apotek dengan modal bersama pemodal, maka pekerjaan kefarmasian
harus tetap dilakukan sepenuhnya oleh apoteker yang bersangkutan. Tidak hanya
wewenang saja yang dimiliki oleh seorang apoteker, namun juga tugas dan
kewajiban yang harus dijalani apoteker. Kewajiban tersebut ialah:
a) Wajib mengikuti paradigm pelayanan kefarmasian dan perkembangan ilmu pengetahuan serta teknologi.
b) Wajib menyimpan Rahasia Kedokteran dan Rahasia Kefarmasian.
c) Wajib menyelenggarakan
program kendali mutu dan kendali biaya.
Didalam pekerjaan
kefarmasian, dilakukan oleh tenaga kesehatan yang memiliki keahlian dan
kewenangan untuk itu, yakni Tenaga Kefarmasian. Ada dua macam Tenaga
Kefarmasian yaitu Apoteker dan Tenaga Teknis Kefarmasian, seperti Sarjana
Farmasi, Ahli Madya Farmasi, Analis Farmasi, SMK Farmasi atau AA. Seorang Tenaga Kefarmasian harus memiliki aspek legal
yang dibutuhkan sebagai syarat, yakni:
1. Ijasah Apoteker
2. Sertifikat Kompetensi Profesi Apoteker
3. Surat Tanda Registrasi Apoteker (STRA)
4. Surat Ijin (Praktik Apoteker/ Kerja Apoteker)
2. Asisten Apoteker
Sedangkan kewajiban Asisten Apoteker Menurut Keputusan
Menteri Kesehatan RI No. 1332/MENKES/X?2002 adalah sebagai berikut:
·
Melayani resep
dokter sesuai dengan tanggung jawab dan standar profesinya yang dilandasi pada
kepentingan masyarakat serta melayani penjualan obat yang dapat dibeli tanpa
resep dokter
·
Memberi
Informasi :
-
Yang berkaitan
dengan penggunaan/ pemakaian obat yang diserahkan kepada pasien
-
Penggunaan obat
secara tepat, aman dan rasional atas permintaan masyarakat
-
Informasi yang
diberikan harus benar, jelas dan mudah dimengerti serta cara penyampaiannya
disesuaikan dengan kebutuhan, selektif, etika, bijaksana dan hati-hati.
Informasi yang diberikan kepada pasien sekurang-kurangnya meliputi: cara
pemakaian obat, cara penyimpanan obat, jangka waktu pengobatan, makanan/
minuman/ aktifitas yang hendaknya dihindari selama terapi dan informasi lain
yang diperlukan
·
Menghormati hak
pasien dan menjaga kerahasian identitas serta data kesehatan pribadi pasien
·
Melakukan
pengelolaan apotek meliputi:
a. Pembuatan, pengelolaan, peracikan, pengubahan bentuk,
pencampuran, penyimpanan dan penyerahan obat dan bahan obat
b. Pengadaan, penyimpanan, penyaluran dan penyerahan
sediaan farmasi lainnya
c. Pelayanan informasi mengenai sediaan farmasi.
3. Ahli madya Farmasi
a. Pelaksana pelayanan kesehatan di bidang farmasi.
b. Pelaksana produksi sediaan farmasi.
c. Pelaksanan pendistribusian dan pemasaran sediaan
farmasi.
d. Penyuluh dan sumber informasi kesehatan di bidang
farmasi.
e. Pelaksana pengumpulan dan pengolahan data untuk
penelitian.
f. Pelaksana pengelolaan obat.
D.
Undang- Undang yang menyangkut Tenaga Kefarmasian
UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA
NOMOR 6 TAHUN 1963
TENTANG
TENAGA KESEHATAN
BAB I
MAKSUD DAN TUJUAN
Pasal 1
Maksud dan tujuan undang-undang ini ialah untuk
menetapkan ketentuan-ketentuan dasar mengenaiTenaga Kese
BAB II
KETENTUAN UMUM
Pasal 2
Yang dimaksud dengan Tenaga Kesehatan dalam
undang-undang ini, ialah:
I. Tenaga
Kesehatan sarjana, yaitu :
a. dokter;
b. dokter-gigi;
c. apoteker;
d. sarjana-sarjana lain dalam bidang kesehatan;
II. Tenaga
Kesehatan sarjana-muda, menengah dan rendah:
a. dibidang farmasi : asisten-apoteker dan sebagainya
b. dibidang kebidanan: bidan dan sebagainya;
c. dibidang perawatan: perawat, physio-terapis dan sebagainya
d. dibidang kesehatan masyarakat : penilik kesehatan,
nutrisionis dan lain-lain
e. dibidang-bidang kesehatan lain.
BAB III
SYARAT UNTUK MELAKUKAN PEKERJAAN DOKTER/
DOKTER-GIGI/APOTEKER
Pasal 3
Syarat untuk melakukan pekerjaan sebagai dokter/dokter-gigi
ialah:
a. Yang bersangkutan memiliki ijazah dokter/dokter-gigi
menurut peraturan yang berlaku;
b. Yang bersangkutan memiliki ijazah dokter/dokter-gigi
diluar negeri yang sederajat denganUniversitas Negara menurut peraturan yang
berlaku.
Pasal 4
Syarat untuk melakukan pekerjaan kefarmasian sebagai
apoteker:
a. Yang bersangkutan memiliki ijazah apoteker menurut
peraturan yang berlaku;
b. Yang bersangkutan telah melakukan pekerjaan
kefarmasian/ sebagai apoteker menurut undang-undang yang berlaku;
c. Yang bersangkutan memiliki ijazah apoteker diluar
negeri, yang menurut peraturan yang berlaku
dinyatakan sederajat dengan ijazah apoteker di Indonesia.
BAB IV
IZIN UNTUK MELAKUKAN PEKERJAAN
DOKTER/DOKTER-GIGI/APOTEKER
Pasal 5
Untuk melakukan pekerjaan, baik pada Pemerintah, pada
badan-badan Swasta maupun secara Swastaperseorangan, tenaga kesehatan yang
dimaksud dalam pasal 3 dan pasal 4 harus memperoleh izinMenteri.
Pasal 6
(1) Pada izin yang dimaksud dalam pasal ditetapkan
(tempat), jangka waktu dan syarat-syarat lain,sesuai dengan ketentuan-ketentuan
dalam pasal 10 ayat (2), (3) dan (4) Undang- undang tentangPokok-pokok
Kesehatan.
(2) Hal-hal mengenai daerah (tempat), jangka waktu dan
syarat-syarat lain yang dimaksud dalam ayat (1), diatur lebih lanjut dengan
Peraturan Pemerintah.
BAB V
TUGAS PEKERJAAN TENAGA KESEHATAN SARJANA-MUDA,
MENENGAH DAN RENDAH
Pasal 7
(1) Tugas pekerjaan tenaga kesehatan sarjana-muda,
menengah dan rendah ditetapkan berdasarkan pendidikan dan pengalamannya.
(2) Pendidikan yang dimaksudkan dalam ayat (1) diatur
dengan Peraturan Pemerintah atau Peraturan Menteri Kesehatan.
Pasal 8
(1) Tenaga kesehatan sarjana-muda, menengah dan rendah
melakukan pekerjaannya dibawah pengawasan dokter/dokter-gigi/ apoteker/sarjana
lain yang dimaksud pasal 2 nomor 1.
(2) Kepada tenaga kesehatan tertentu dapat diberikan
wewenang terbatas untuk menjalankanpekerjaan tanpa pengawasan langsung
sebagaimana dimaksud dalam ayat (1).
(3) Ketentuan-ketentuan dalam pasal 5 dan 6 berlaku juga
untuk melakukan pekerjaan tenaga
kesehatan yang dimaksud dalam ayat (2).
BAB VI
TENAGA PENGOBATAN BERDASARKAN ILMU DAN/ATAU CARA LAIN
DARI PADA ILMUKEDOKTERAN
Pasal 9
(1) Menteri Kesehatan memberi bimbingan dan pengawasan
kepada mereka yang melakukan usaha- usaha pengobatan berdasarkan ilmu dan atau
cara lain dari pada ilmu kedokteran.
(2) Bimbingan dan pengawasan yang dimaksud dalam ayat (1)
diatur lebih lanjut dengan peraturan-
peraturan pelaksanaan.
BAB VII
BIMBINGAN PEMERINTAH
Pasal 10
Dengan mengingat ketentuan-ketentuan dalam
Undang-undang tentang Pokok -pokok Kesehatan(Undang-undang tahun 1960 No. 9;
Lembaran-Negara tahun 1960 No. 131), Menteri Kesehatanmengatur, membimbing dan
mengawasi tenaga kesehatan dalam melakukan tugas pekerjaannya, baikyang
dijalankan sebagai perseorangan maupun yang merupakan aktivitas-aktivitas
secara kolektip.
LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 1966 NOMOR 79
PENJELASAN
UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA
NOMOR 6 TAHUN 1963
TENTANG
TENAGA KESEHATAN
PASAL DEMI PASAL
Pasal 1
Undang-undang ini menetapkan ketentuan-ketentuan yang
bersifat khas (spesifik) mengenai petugas-petugas kesehatan, maka dari itu
Undang-undang ini dapat berlaku disamping Undang-undang lainseperti
Undang-undang Pokok Kepegawaian perihal Pegawai Negeri, Undang-undang Wajib
kerjaSarjana mengenai para Sarjana. Undang-undang Wajib Militer mengenai Warga
Negara yang harusmelakukan dinas Wajib Militer.
Pasal 2
Tenaga Kesehatan Sarjana, termasuk golongan Sarjana
pada umumnya pendidikannya diselenggarakanoleh Departemen Perguruan Tinggi dan
Ilmu Pengetahuan.
Tenaga Kesehatan lainnya yang bertingkat Sarjana Muda,
Menengah dan Rendah (non-akademikus)pendidikannya diselenggarakan oleh
Departemen Kesehatan sesuai dengan kebutuhan masyarakatdalam bidang Kesehatan. Yang
dimaksud dengan Sarjana Muda adalah tingkatan semi-akademis.
Pasal 3
Ijazah-ijazah dokter, dokter-gigi, apoteker dan
Sarjana-sarjana lain ini diatur dalam rangka pelaksanaanUndang-undang Perguruan
Tinggi, yang juga akan mengatur soal-soal gelar, sebutan, wewenang
dansebagainya secara keseluruhan.
Pasal 4
Yang dimaksud pada sub b ialah : assisten-apoteker
yang mendapat izin memimpin sebuah "ApotikDarurat" menurut
Undang-undang No. 18 tahun 1959.
Pasal 5
Dengan "melakukan pekerjaan secara swasta
perseorangan" dimaksud : "praktek partikulirdokter/dokter-gigi".
Dengan pasal ini Menteri Kesehatan dapat mengetahui keadaan seluruh tenaga
dokter/doktergigi/apoteker dimanapun juga mereka bekerja.
Pasal 6
(1) Menteri Kesehatan memberikan izin dengan memperhatikan
kepentingan rakyat dan Negara (umpamanya distribusi Tenaga Kesehatan secara
merata diseluruh wilayah Negara), penetapanjangka waktu untuk melakukan
pekerjaan dokter/dokter-gigi/ apoteker disuatu daerah tidak mengurangi daya
laku wewenang ijazah sebagaimana ditetapkan (diakui) dalam pasal 3 dan 4. Menteri
Kesehatan menetapkan syarat-syarat lain dengan memperhatikan fungsi sosial
seorangdokter/dokter-gigi/apoteker, keadaan fisik (umpamanya tidak buta-tuli,
tidak buta-warna) dansebagainya.
(2) Dalam melaksanakan ketentuan dalam ayat (1), Menteri
Kesehatan memperhatikan segala sesuatu mengenai daerah (tempat), jangka waktu
syarat-syarat lain yang ditetapkan dengan PeraturanPemerintah.
Pasal 7
(1) Sebagai contoh tugas pekerjaan tenaga kesehatan
dimaksud dalam pasal ini adalah sebagai berikut:
a. Tugas pekerjaan Tenaga Bidan yang berdasarkan
pendidikannya, adalah terutama memberi pertolongan pada persalinan normal;
b. Tugas pekerjaan Tenaga Kesehatan perawat pada pokoknya
adalah merawat penderita sakit dan membantu dokter dalam hal mengobatinya;
c. Tugas pekerjaan asisten-apoteker adalah melakukan
kefarmasian yang terbatas
d. berdasarkan pendidikannya dan membantu pekerjaan
apoteker.
(2) Sebutan dari pada Tenaga-tenaga Kesehatan itu diatur
dengan Peraturan Pemerintah atau Peraturan Menteri.
Pasal 8
(1) Oleh sebab Tenaga Kesehatan bukan Sarjana melakukan
pekerjaan dibawah pengawasan atasan-atasan yang bersangkutan, maka
pertanggungan-jawab medis dari pada pekerjaannyaterletak pada atasan-atasan
tersebut.
(2) Adalah suatu kenyataan, bahwa didaerah-daerah dimana
tidak ada seorang dokter, maka TenagaKesehatan non-akademis tertentu melakukan
pekerjaannya dengan memikul pertanggungan- jawab sepenuhnya. Agar kenyataan ini
dapat dikuasai sebaik-baiknya, maka ditetapkan disini bahwa TenagaKesehatan
non-akademis tersebut perlu diberi wewenang yang terbatas.
(3) Cukup jelas.
Pasal 10
Perjalanan perkembangan masyarakat dan Negara kearah
Masyarakat Sosialis dibimbing, denganadanya "pimpinan" disegala
bidang (demokrasi terpimpin, ekonomi terpimpin dan seterusnya), makadalam
rangka kenyataan ini dengan tegas diterangkan bahwa dalam melaksanakan tugas
pekerjaanTenaga Kesehatan berada dibawah pimpinan Menteri Kesehatan. Pemerintah
memberi kesempatan agar Tenaga Kesehatan non-akademikus dapat mencapai tingkat
yang lebih tinggi dengan jalan pendidikan-pendidikan dari kursus-kursus
tambahan.
spesialis
Pengertian
Spesialis
Spesialis adalah seseorang yang mempunyai keahlian khusus dalam sebuah bidang yang di peroleh dari pelatihan khusus/pendidikan khusus. Orang spesialis mempunyai wawasan yang mana wawasan itu lebih dia dalami dan pelajari lagi, sehingga dia pun menjadi spesialis dalam bidang yang dia kaji dan pelajari itu. Dalam bidang pendidikan, Ilmu Spesialis bisa disebut juga S2 (Strata 2), pada bidang farmasi, S2 dapat disebut juga Farmasi Klinik.
Spesialis adalah seseorang yang mempunyai keahlian khusus dalam sebuah bidang yang di peroleh dari pelatihan khusus/pendidikan khusus. Orang spesialis mempunyai wawasan yang mana wawasan itu lebih dia dalami dan pelajari lagi, sehingga dia pun menjadi spesialis dalam bidang yang dia kaji dan pelajari itu. Dalam bidang pendidikan, Ilmu Spesialis bisa disebut juga S2 (Strata 2), pada bidang farmasi, S2 dapat disebut juga Farmasi Klinik.
I.
Pengertian Farmasi Klinis
Farmasi
Klinis merupakan praktek kefarmasian yang berorientasi kepada pasien lebih dari
orientasi kepada produk. Istilah farmasi klinik mulai muncul pada tahun 1960-an
di Amerika, yaitu suatu disiplin ilmu farmasi yang menekankan fungsi farmasis
untuk memberikan asuhan kefarmasian (pharmaceutical care) kepada pasien,
bertujuan untuk meningkatkan outcome pengobatan.
II. Sejarah Farmasi Klinis
Secara
historis, perubahan-perubahan dalam profesi kefarmasian di Inggris, khususnya
dalam abad ke-20, dapat dibagi dalam periode/tahap:
Periode /
tahap tradisional
Dalam
periode tradisional ini, fungsi farmasis yaitu menyediakan, membuat, dan
mendistribusikan produk yang berkhasiat obat. Tenaga farmasi sangat dibutuhkan
di apotek sebagai peracik obat. Periode ini mulai mulai goyah saat terjadi
revolusi industri dimana terjadi perkembangan pesat di bidang industri tidak
terkecuali industri farmasi. Ketika itu sediaan obat jadi dibuat oleh industri
farmasi dalam jumlah besar-besaran. Dengan beralihnya sebagian besar pembuatan
obat oleh industri maka fungsi dan tugas farmasis berubah. Dalam pelayanan
resep dokter, farmasis tidak lagi banyak berperan pada peracikan obat karena
obat yang tertulis di resep sudah bentuk obat jadi yang tinggal diserahkan
kepada pasien. Dengan demikian peran profesi kefarmasian makin menyempit.
Tahap
Transisional (1960-1970)
Perkembangan-perkembangan
dan kecenderungan tahun 1960-an/1970-an
A. Ilmu
kedokteran cenderung semakin spesialistis
Kemajuan
dalam ilmu kedokteran yang pesat, khusunya dalam bidang farmakologi dan
banyaknya macam obat yang mulai membanjiri dunia menyebabkan para dokter merasa
ketinggalan dalam ilmunya. Selain ini kemajuan dalam ilmu diagnosa, aalat-alat
diagnosa baru serta penyakit-penyakit yang baru muncul (atau yangbaru dapat
didefinisikan) membingungkan para dokter. Satu profesi tiadak dapat lagi
menangani semua pengetahuan yang berkembang dengan pesat.
B. Obat-obat
baru yang efektif secara terapeutik berkembang pesat sekali dalam dekade-dekade
tersebut. Akan tetapi keuntungan dari segi terapi ini membawa masalah-masalah
tersendiri dengan meningkatnya pula masalah baru yang menyangkut obat; antara
lain efek samping obat, teratogenesis, interaksi obat-obat, interaksi
obat-makanan, dan interaksi obat-uji laboratorium.
C.
Meningkatnya biaya kesehatan sektor publik amtara lain disebabkan oleh
penggunaan teknologi canggih yang mahal, meningkatnya permintaan pelayanan
kesehatan secara kualitatif maupun kuantitatif, serta meningkatnya jumlah
penduduk lansia dalam struktur demografi di negara-negara maju, seperti
Inggris. Karena tekanan biaya kesehatan yang semakin mahal, pemerintah
melakuakn berbagai kebijakan untuk meningkatkan efektifitas biaya
(cost-effectiveness), termasuk dalam hal belanja obat (drugs expenditure).
D. Tuntunan
masyarakat untuk pelayanan medis dan farmasi yang bermutu tinggi disertai
tuntunan pertanggungjawaban peran para dokter dan farmasis, sampai gugatan atas
setiap kekurangan atau kesalahan pengobatan.
Kecenderungan-kecenderungan
tersebut terjadi secara paralel dengan perubahan peranan farmasis yang semakin
sempit. Banyak orang mempertanyakan peranan farmasis yang overtrained dan
underutilised, yaitu pendidikan yang tinggi akan tetapi tidak dimanfaatkan
sesuai dengan pendidikan mereka. Situasi ini memunculkan perkembangan farmasi
bangsal (ward pharmacy) atau farmasi klinis (clinical pharmacy).
Farmasi
klinis lahir pada tahun 1960-an di Amerika Serikat dan Inggris dalam periode
transisi ini. Masa transisi ini adalah masa perubahan yang cepat dari
perkembangan fungsi dan peningkatan jenis-jenis pelayanan profesional yang
dilakukan oleh bebrapa perintis dan sifatnya masih individual. Yang paling
menonjol adalah kehadiran farmasis di ruang rawat rumah sakit, meskipun masukan
mereka masih terbatas. Banyak farmasis mulai mengembangkan fungsi-fungsi baru
dan mencoba menerapkannya. Akan tetapi tampaknya, perkembangannya masih cukup
lambat. Diantara para dokter, farmasis dan perawat, ada yang mendukung, tetapi
adapula yang menolaknya.
Tahap Masa
Kini
Pada periode
ini mulai terjadi pergeseran paradigma yang semula pelayanan farmasi
berorientasi pada produk, beralih ke pelayanan farmasi yang berorientasi lebih
pada pasien. Farmasis ditekankan pada kemampuan memberian pelayanan pengobatan
rasional. Terjadi perubahan yang mencolok pada praktek kefarmasian khususnya di
rumah sakit, yaitu dengan ikut sertanya tenaga farmasi di bangsal dan terlibat
langsung dalam pengobatan pasien.
Karakteristik
pelayanan farmasi klinik di rumah sakit adalah :
- Berorientasi kepada pasien
- Terlibat langsung di ruang perawatan di rumah sakit (bangsal)
- Bersifat pasif, dengan melakukan intervensi setelah pengobatan dimulai dan memberi informasi bila diperlukan
- Bersifat aktif, dengan memberi masukan kepada dokter sebelum pengobatan dimulai, atau menerbitkan buletin informasi obat atau pengobatan
- Bertanggung jawab atas semua saran atau tindakan yang dilakukan
- Menjadi mitra dan pendamping dokter.
Dalam sistem
pelayanan kesehatan pada konteks farmasi klinik, farmasis adalah ahli
pengobatan dalam terapi. Mereka bertugas melakukan evalusi pengobatan dan
memberikan rekomendasi pengobatan, baik kepada pasien maupun tenaga kesehatan
lain. Farmasis merupakan sumber utama informasi ilmiah terkait dengan
penggunaan obat yang aman, tepat dan cost effective.
Tahap Masa
Depan Pelayanan Kefarmasian (Pharmaceutical Care)
Gagasan ini
masih dalam proses perkembangan. Diberikan disini untuk perluasan wawasan
karena kita akan sering mendengar konsep ini. Pelayanan kefarmasiaan
(Pharmaceutical Care) didefinisikan oleh Cipolle, Strand, dan Morley (1998)
sebagai: “A practice in which the practitioner takes responsibility for a
patient’s drug therapy needs, and is held accountable for this commitment”.
Dalam prakteknya, tanggung jawab terapi obat diwujudkan pada pencapaian hasil
positif bagi pasien.
Proses
pelayanan kefarmasian dapat dibagi menjadi tiga komponen, yaitu;
1. Penilaian
(assessment): untuk menjamin bahwa semua terapi obat yang
diiberikan kepada pasien terindikasikan, berkasiat, aman dan sesuai serta untuk
mengidentifikasi setiap masalah terapi obat yang muncul, atau memerlikan
pencegahan dini.
2.
Pengembangan perencanaan perawatan (Development of a Care Plan): secara
bersama – sama, pasien dan praktisi membuat suatu perencanaan untuk
menyelesaikan dan mencegah masalah terapi obat dan untuk mencapai tujuan terapi.
Tujuan ini (dan intervensi) didesain untuk:
- Menyelesaikan setiap masalah terapi yang muncul
- Mencapai tujuan terapi individual
- Mencegah masalah terapi obat yang potensial terjadi kemudian
3. Evaluasi:
mencatat
hasil terapi, untuk mengkaji perkembangan dalam pencapaian tujuan terapi dan
menilai kembali munculnya masalah baru.
Ketiga tahap
proses ini terjadi secara terus – menerus bagi seorang pasien.
Konsep
perencanaan pelayanan kefarmasian telah dirangkai oleh banyak praktisi farmasi
klinis. Meskipun definisi pelayanan kefarmasian telah diterapkan secara berbeda
dalam negara yang berbeda, gagasan dasar adalah farmasis bertanggungjawab
terhadap hasil penggunaan obat oleh/untuk pasien sama seperti seorang dokter
atau perawat bertanggungjawab terhadap pelayanan medis dan keperawatan yang
mereka berikan. Dengan kata lain, praktek ini berorientasi pada pelayanan yang
terpusat kepada pasien dan tanggungjawab farmasis terhadap morbiditas dan
mortalitas yang berkaitan dengan obat.
IV. Farmasi
Klinik diberbagai Belahan Dunia
Farmasi
Klinik di Eropa
Gerakan
farmasi klinik di Eropa mulai menggeliat dengan didirikannya European
Society of Clinical Pharmacy (ESCP) pada tahun 1979 (Leufkens et al,
1997). Sejak itu terjadi perdebatan yang terus menerus mengenai tujuan, peran
dan nilai tambah farmasi klinik terhadap pelayanan pasien. Pada tahun 1983,
ESCP mengkompilasi dokumen pendidikan berisi persyaratan dan standar untuk
keahlian dan ketrampilan seorang farmasis klinik (ESCP, 1983). Pada tahun
itu, Federation Internationale Pharmaceutique (FIP) mempublikasikan
prosiding simposium bertemakan ‘Roles and Responsibilities of the
Pharmacists in Primary Health Care’ di mana berhasil disimpulkan peran
klinis seorang farmasis (Breimer et al, 1983). Sejak itu, World Health Organisation
(WHO) dan berbagai institusi lain mulai mengenal dan memperjuangkan
farmasis sebagai tenaga pelayanan kesehatan yang strategis (Lunde dan Dukes,
1989). Pada tahun 1992, ESCP mempublikasikan “The Future of Clinical
Pharmacy in Europe” yang merefleksikan perubahan cepat tentang peran
farmasi di dalam sistem pelayanan kesehatan (Bonal et al, 1993).
Perubahan tersebut terjadi secara universal di berbagai negara, dan itu terkait
dengan perkembangan teknologi kesehatan, ekonomi kesehatan, informatika, sosial
ekonomi, dan hubungan profesional (Waldo et al, 1991).
Menurut
ESCP, farmasi klinik merupakan pelayanan yang diberikan oleh apoteker di RS,
apotek, perawatan di rumah, klinik, dan di manapun, dimana terjadi peresepan
dan penggunaan obat. Adapun tujuan secara menyeluruh aktivitas farmasi klinik
adalah meningkatkan penggunaan obat yang tepat dan rasional, dan hal ini
berarti:
- Memaksimalkan efek pengobatan yaitu penggunaan obat yang paling efektif untuk setiap kondisi tertentu pasien.
- Meminimalkan risiko terjadinya adverse effect, yaitu dengan cara memantau terapi dan kepatuhan pasien terhadap terapi.
- Meminimalkan biaya pengobatan yang harus dikeluarkan oleh pasien atau pemerintah (ESCP, 2009).
Walaupun demikian, perkembangan pelayanan farmasi
klinik tidaklah sama di semua negara Eropa. Inggris merupakan negara di Eropa
yang paling lama menerapkan farmasi klinik. Sebagian besar penelitian tentang
peran penting farmasi klinik dalam pelayanan kesehatan sebagian besar diperoleh
dari pengalaman di Amerika dan Inggris.
Farmasi
Klinik di Australia
Di
Australia, 90% rumah sakit swasta dan 100% rumah sakit pemerintah memberikan
pelayanan farmasi klinik. Organisasi profesi utama yang mewadahi farmasis yang
bekerja di RS di Australia adalah The Society of Hospital Pharmacists of
Australia (SHPA), yang didirikan pada tahun 1941. Pada tahun 1996, SHPA
mempublikasikan Standar Pelayanan Farmasi Klinik yang menjadi referensi utama
pemberian pelayanan farmasi klinik di Australia.
Komponen
fundamental dari standar ini adalah pernyataan tentang tujuan farmasi klinik
dan dokumentasi dari aktivitas farmasi klinik terpilih. Standar ini juga
digunakan dalam pengembangan kebijakan pemerintah dalam akreditasi pelayanan
farmasi klinik di Australia, dan juga sebagai standar untuk pendidikan farmasi,
baik di tingkat S1 maupun pasca sarjana (DiPiro, 2002)
Farmasi
Klinik di Indonesia
Praktek
pelayanan farmasi klinik di Indonesia relatif baru berkembang pada tahun
2000-an, dimulai dengan adanya beberapa sejawat farmasis yang belajar farmasi
klinik di berbagai institusi pendidikan di luar negeri. Belum sepenuhnya
penerimaan konsep farmasi klinik oleh tenaga kesehatan di RS merupakan salah
satu faktor lambatnya perkembangan pelayanan farmasi klinik di Indonesia. Masih
dianggap atau merupakan keganjilan jika apoteker yang semula berfungsi
menyiapkan obat di Instalasi Farmasi RS, kemudian ikut masuk ke bangsal
perawatan dan memantau perkembangan pengobatan pasien, apalagi jika turut
memberikan rekomendasi pengobatan, seperti yang lazim terjadi di negara maju.
Farmasis sendiri selama ini terkesan kurang menyakinkan untuk bisa memainkan
peran dalam pengobatan. Hal ini kemungkinan besar disebabkan oleh sejarah
pendidikan farmasi yang bersifat monovalen dengan muatan sains yang masih cukup
besar (sebelum tahun 2001), sementara pendidikan ke arah klinik masih sangat
terbatas, sehingga menyebabkan farmasis merasa gamang berbicara tentang
penyakit dan pengobatan
Sebagai
informasi, sejak tahun 2001, pendidikan farmasi di Indonesia, khususnya di UGM,
telah mengakomodasi ilmu-ilmu yang diperlukan dalam pelayanan farmasi klinik,
seperti patofisiologi, farmakoterapi, dll. dengan adanya minat studi Farmasi
Klinik dan Komunitas.
Bersamaan
dengan itu, mulai tahun 2001, berhembus angin segar dalam pelayanan
kefarmasian di Indonesia. Saat itu terjadi restrukturisasi pada organisasi
Departemen Kesehatan di mana dibentuk Direktorat Jenderal Bina Kefarmasian dan
Alat Kesehatan, dengan Direktorat Bina Farmasi Komunitas dan Klinik di
bawahnya, yang mengakomodasi pekerjaan kefarmasian sebagai salah satu pelayanan
kesehatan utama, tidak sekedar sebagai penunjang. Menangkap peluang itu,
Fakultas Farmasi UGM termasuk menjadi salah satu pioner dalam pendidikan
Farmasi Klinik dengan dibukanya Program Magister Farmasi Klinik. Di sisi lain,
beberapa sejawat farmasis rumah sakit di Indonesia mulai melakukan kegiatan
pelayanan farmasi klinik, walaupun masih terbatas. Namun demikian, bukan
berarti perkembangan farmasi klinik serta merta meningkat pesat, bahkan
perkembangannya masih jauh dari harapan. Kasus Prita di sebuah RS di Tangerang
yang cukup menghebohkan beberapa saat lalu merupakan salah satu cermin bahwa
pelayanan kesehatan di Indonesia masih harus ditingkatkan, dan farmasis klinik
mestinya bisa mengambil peran mencegah kejadian serupa. Kiranya ke depan,
perlu dilakukan upaya-upaya strategis untuk membuktikan kepada pemegang
kebijakan dan masyarakat luas bahwa adanya pelayanan farmasi langsung kepada
pasien akan benar-benar meningkatkan outcome terapi bagi pasien, seperti
yang diharapkan ketika gerakan farmasi klinik ini dimulai.
V. Macam –
Macam Aktivitas Farmasi Klinik
Walaupun ada
sedikit variasi di berbagai negara, pada prinsipnya aktivitas farmasi klinik
meliputi :
1.
Pemantauan pengobatan.
Hal ini
dilakukan dengan menganalisis terapi, memberikan advis kepada praktisi
kesehatan tentang kebenaran pengobatan, dan memberikan pelayanan kefarmasian
pada pasien secara langsung
2. Seleksi
obat.
Aktivitas
ini dilakukan dengan bekerja sama dengan dokter dan pemegang kebijakan di
bidang obat dalam penyusunan formularium obat atau daftar obat yang digunakan.
3. Pemberian
informasi obat.
Farmasis
bertanggug-jawab mencari informasi dan melakukan evaluasi literatur ilmiah
secara kritis, dan kemudian mengatur pelayanan informasi obat untuk praktisi
pelayanan kesehatan dan pasien
4. Penyiapan
dan peracikan obat.
Farmasis
bertugas menyiapkan dan meracik obat sesuai dengan standar dan kebutuhan pasien
5.
Penelitian dan studi penggunaan obat.
Kegiatan
farmasi klinik antara lain meliputi studi penggunaan obat, farmakoepidemio-
logi, farmakovigilansi, dan farmakoekonomi.
6. Therapeutic
drug monitoring (TDM).
Farmasi
klinik bertugas menjalankan pemantauan kadar oba
7. Uji
klinik.
Farmasis
juga terlibat dalam perencanaan dan evaluasi obat, serta berpartisipasi dalam
uji klinik.
8.
Pendidikan dan pelatihan, terkait dengan pelayanan kefarmasian.
Semua yang
dipaparkan di atas adalah gambaran perkembangan profesi farmasi, khususnya
farmasi klinik, yang terjadi di beberapa belahan dunia.
BAB III
PENUTUP
A.
Kesimpulan
Tenaga
kefarmasian : tenaga yang melakukan pekerjaan kefarmasian, yang terdiri atas
apoteker dan tenaga teknis kefarmasian.
·
Apoteker :
sarjana farmasi yang telah lulus sebagai Apoteker dan telah mengucapkan sumpah jabatan
apoteker.
·
Tenaga teknis
kefarmasian : tenaga yang membantu apoteker dalam menjalani pekerjaan
kefarmasian yang terdiri atas sarjana farmasi, ahli madya farmasi, analisis
farmasi, dan tenaga menengah farmasi/asisten apoteker.
·
Asisten
Apoteker yang dimuat dalam keputusan Menteri Kesehatan RI No.
1332/MENKES/SK/X/2002 adalah mereka yang berdasarkan peraturan
perundang-undangan yang berlaku berhak melakukan pekerjaan kefarmasian sebagai
Asisten Apoteker.
·
Ahli Madya (A.Md.) merupakan gelar vokasi yang diberikan kepada lulusan
program pendidikan diploma 3.
·
Peranan tenaga kefarmasian berkaitan dengan dunia
kefarmasian.
·
Undang-Undang yang mengatur tentang Tenaga Kefarmasian
tertuang dalam UU Nomor 6 Tahun 1963
Tentang Tenaga Kesehatan.
DAFTAR PUSTAKA
www.google.com
http://www.kfarmuhcrb.ac.id/akademik/kompetensi.html(Peranan
Ahli Madya Farmasi)
http://www.aptfi.or.id/wp-content/uploads/2009/03/pp-51-2009.pdf
diakses
tanggal 30 September 2014
Undang-undang
RI No.23 tahun 1992 tentangkesehatan
SK MenKes RI
No.347/MenKes/SK/VII/1990 tentangobatwajibapotek No.1
Dipiro, L. and
Michael, L., 2002, Pharmacotherapy : A Pathophysiologic Approach, Appleton & Lange, Stamford
Cipolle, R.J., Strand, L.M., Morley. P.C., (1998).
Pharmaceutical Care Practice. New York.
Komentar
Posting Komentar