makalah PIO
Brebes, Jawa Tengah

MAKALAH FARMASI KLINIK & INTERPRETASI DATA KLINIK
Disusun
Oleh :
1. Erlita Hidayatul Fitriani E0013036
2. Lutfi Amaliyah E0014043
3. M. Abi Ubaidilah E0014044
4. Neneng Nur Amaliyah E0014045
5. Winda Agustin E0014057
PROGRAM STUDI SI FARMASI
STIKes BHAKTI MANDALA HUSADA SLAWI
Jl.Cut
Nyak Dhien No. 16, Desa Kalisapu, Kec. Slawi, Kabupaten Tegal, Jawa Tengah
52416 Telp.(0283) 6197571 Fax. (0283) 6198450 Homepage website www.stikesbhamada
ac.id email stikes_bhamada@yahoo.com
2017
KATA
PENGANTAR
Assalamu’alaikum Wr. Wb
Alhamdulillahirabbil’alamin, puji dan syukur senantiasa kami panjatkan
kehadirat Allah SWT, serta shalawat dan salam
kami sampaikan pada nabi Muhammad SAW, sehingga kami dapat menyelesaikan makalah ini dengan tepat waktu.
Adapun tujuan kami membuat makalah ini
yaitu untuk memenuhi tugas mata kuliah Farmasi Klinik dan Interpretasi Data
Klinik.
Semoga makalah yang kami susun ini dapat bermanfaat dan berguna, khususnya bagi
kami dan umumnya bagi pembaca.
Kami menyadari bahwa makalah ini masih jauh dari
kesempurnaan. Oleh karena itu, kami siap menerima segala kritik dan saran dari
berbagai pihak demi menyempurnakan makalah ini. Semoga makalah ini dapat
bermanfaat bagi semua pihak dibidang farmasi khususnya dan di bidang kesehatan
pada umumnya.
Wassalamu’alaikum Wr. Wb.
Slawi, Maret 2017
Penyusun
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL......................................................................................... i
KATA PENGANTAR ...................................................................................... ii
DAFTAR ISI ..................................................................................................... iii
BAB I PENDAHULUAN ................................................................................ 1
1.1 Latar Belakang .................................................................................. 1
1.2 Rumusan Masalah ............................................................................... 2
1.3 Tujuan ................................................................................................. 3
BAB II TINJAUAN PUSTAKA ...................................................................... 4
2.1 Definisi Pelayanan Informasi Obat .................................................. 4
2.2 Ruang Lingkup Pelayanan
Informasi Obat ...................................... 5
2.3 Tujuan
dan Prioritas Pelayanan Informasi Obat ............................... 7
2.4
Fungsi Pelayanan Informasi Obat .................................................... 8
2.5 Langkah-Langkah Pelayanan Informasi Obat .................................. 8
2.6 Sumber Informasi Obat .................................................................... 10
2.7 Sasaran Pelayanan Informasi
Obat ................................................... 12
2.8 Metode Pelayanan Informasi Obat
................................................... 14
2.9 Strategi Pencarian Informasi
Secara Sistemik .................................. 14
2.10 Metode Menjawab Pertanyaan Informasi ........................................ 16
2.11 Kategori Pelayanan Informasi Obat ................................................. 17
2.12 Dokumentasi Pelayanan Informasi Obat .......................................... 17
2.13 Evaluasi Kegiatan ............................................................................. 17
2.14 Konseling .......................................................................................... 18
BAB III PENUTUP .......................................................................................... 19
3.1 Kesimpulan
........................................................................................ 19
3.2 Saran
.................................................................................................. 19
DAFTAR PUSTAKA ....................................................................................... 20
BAB I
PENDAHULUAN
1.1
Latar Belakang
Dalam rangka mewujudkan pelayanan kesehatan yang
optimal, sudah tentu mutlak diperlukan suatu pelayanan yang bersifat terpadu
komprehensiv dan profesional dari para profesi kesehatan. Rumah sakit adalah
merupakan salah satu unit/instansi kesehatan yang sangat vital dan strategis
dalam melayani kesehatan masyarakat, dimana aspek pelayanan sangatlah dominan
dan menentukan.
Pelayanan kefarmasian merupakan
bagian integral dari sistem pelayanan kesehatan yang tidak terpisahkan, salah
satu aspek pelayanan kefarmasian yaitu pelayanan informasi obat yang diberikan
oleh apoteker kepada pasien dan pihak-pihak terkait lainya. Informasi
obat adalah suatu bantuan bagi dokter dalam pengambilan keputusan tentang
pilihan terapi obat yang paling tepat bagi seorang pasien.
Pelayanan informasi obat yang diberikan tersebut
tentulah harus lengkap, obyektif, Pelayanan kefarmasian di rumah sakit yang bermutu dan selalu
baru up to date mengikuti perkembangan pelayanan kesehatan, termasuk adanya
spesialisasi dalam pelayanan kefarmasian.Pelayanan kefarmasian di rumah sakit
pada dasarnya adalah untuk menjamin dan memastikan penyediaan dan penggunaan
obat yang rasional yakni sesuai kebutuhan, efektif, aman, nyaman bagi pasien.
Pelayanan kefarmasian
sebagai salah satu unsur dari pelayanan utama di rumah sakit, merupakan bagian
yang tidak dapat dipisahkan dari sistem pelayanan di rumah sakit yang
berorientasi kepada pelayanan pasien. Di banyak Rumah Sakit
pelayanan farmasi atau di Instalasi Faramasi Rumah Sakit menyumbangkan profit
di urutan ke-3 bahkan ada yang menduduki urutan ke-2 bagi managerial Rumah
Sakit. Salah satu bentuk pendekatan, peningkatan bentuk
layanan yang galak dikembangkan oleh farmasi atau Instalasi Farmasi Rumah Sakit
adalah Pelayanan Informasi Obat dan Pelayanan Farmasi Klinis. Pada dasarnya
Pelayanan Informasi Obat merupankan salah satu bagian, cabang dari Pelayanan
Farmasi Klinis. Pelayanan informasi obat dan pelayanan farmasi klinis
menanggapi keprihatinan terhadap masyarakat akan mortalitas dan morbiditas yang
terkait dengan pengunaan obat, kerasionalan pengunaan obat, semakin
meningkatnya biaya perawatan pasien dikarenakan makin meningkatnya biaya obat
dan makin tingginya harapan masyarakat, ledakan medis serta ilmiah.
Mengingat demikian pentingnya fungsi dari pelayanan
informasi obat dirumah sakit, maka diperlukan suatu acuan atau pedoman. Maka
dari itu makalah ini dibuat oleh penyusun dan dijelaskan berdasarkan sumber
yang didapatkan.
1.2
Rumusan Masalah
Berdasarkan
latar belakang di atas, maka dapat dirumuskan permasalahan sebagai berikut :
a. Apa
definisi dari pelayanan informasi obat?
b. Apa
ruang lingkup dari pelayanan informasi obat?
c. Apa
tujuan dan prioritas pelayanan informasi obat?
d. Apa
fungsi-fungsi pelayanan informasi obat?
e. Apa saja langkah-langkah
sistematis pelayanan informasi obat
oleh petugas?
f. Apa
saja sumber-sumber informasi obat?
g. Apa
sasaran dari informasi obat?
h. Apa metode pelayanan informasi obat?
i. Apa
saja strategi pencarian informasi secara sistemik?
j. Apa saja metode menjawab pertanyaan informasi?
k. Apa
kategori dari informasi obat?
l. Apa saja dokumentasi pelayanan informasi obat?
m. Apa saja evaluasi kegiatan pelayanan informasi obat?
n. Apa definisi dan tujuan dari konseling?
1.3
Tujuan
Tujuan dari
penulisan makalah ini adalah sebagai berikut:
a.
Mahasiswa dapat mengetahui dan
memahami definisi dari pelayanan informasi obat.
b.
mahasiswa dapat mengetahui dan
memahami ruang lingkup dari pelayanan informasi obat.
c.
Mahasiswa dapat mengetahui dan
memahami tujuan dan prioritas pelayanan informasi obat.
d.
Mahasiswa dapat mengetahui dan
memahami fungsi-fungsi pelayanan informasi obat.
e.
Mahasiswa dapat mengetahui langkah-langkah
sistematis pelayanan informasi obat
oleh petugas.
f.
Mahasiswa dapat mengetahui dan
memahami sumber-sumber informasi obat.
g.
Mahasiswa dapat mengetahui sasaran dari informasi obat.
h.
Mahasiswa dapat mengetahui dan
memahami metode pelayanan informasi obat.
i.
Mahasiswa dapat mengetahui strategi pencarian informasi secara sistemik.
j.
Mahasiswa dapat mengetahui metode menjawab pertanyaan informasi.
k.
Mahasiswa dapat mengetahui dan
memahami kategori pelayanan informasi obat.
l.
Mahasiswa dapat mengetahui dokumentasi pelayanan informasi obat.
m. Mahasiswa dapat
mengetahui evaluasi
kegiatan pelayanan informasi obat.
n.
Mahasiswa dapat mengetahui definisi dan
tujuan konseling.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1
Definisi Pelayanan Informasi Obat
Pelayanan informasi obat (PIO)
merupakan kegiatan pelayanan yang dilakukan oleh apoteker untuk memberi
informasi secara akurat, tidak biasa dan terkini kepada dokter, apoteker,
perawat, profesi kesehatan lainnya dan pasien (Anonim, 2004).
Definisi pelayanan informasi obat
adalah pengumpulan, pengkajian, pengevaluasian, pengindeksan, pengorganisasian,
penyimpanan, peringkasan, pendistribusian, penyebaran serta penyampaian
informasi tentang obat dalam berbagai bentuk dan metode kepada pengguna nyata
yang mungkin (Siregar, 2004).
Ada berbagai macam definisi dari
informasi obat, tetapi pada umumnya maksud dan intinya sama. Salah satu
definisinya, informasi obat adalah setiap data atau pengetahuan objektif,
diuraikan secara ilmiah dan terdokumentasi mencakup farmakologi, toksikologi dan
farmakoterapi obat. Informasi obat mencakup, tetapi tidak terbatas pada
pengetahuan seperti nama kimia, struktur dan sifat sifat, identifikasi,
indikasi diagnostik atau indikasi terapi, mekanisme kerja, waktu mulai kerja
dan durasi kerja, dosis dan jadwal pemberian, dosis yang direkomendasikan,
absorpsi, metabolisme detoksifikasi, ekskresi, efek samping dan reaksi
merugikan, kontraindikasi, interaksi, harga, keuntungan, tanda dan gejala dan
pengobatan toksisitas, efikasi klinik, data komparatif, data klinik, data
penggunaan obat dan setiap informasi lainnya yang berguna dalam diagnosis dan
pengobatan pasien (Siregar, 2004).
Kemenkes no 1197 tahun 2004 BAB VI mendefinisikan PIO sebagai kegiatan
pelayanan yang dilakukan oleh apoteker untuk memberikan informasi secara
akurat, terkini baik kepada dokter, apoteker, perawat, profesi kesehatan
lainnya dan pasien. Kegiatan yang dilakukan dalam PIO dapat berupa:
a. Pemberian informasi kepada konsumemn secara aktif maupun
pasif melalui surat, telfon, atau tatap muka,
b. Pembuatan leaflet, brosur, maupun poster terkait
informasi kesehatan,
c. Memberikan informasi pada panitia farmasi terapi dalam
penyusunan formularium rumah sakit,
d. Penyuluhan,
e. Penelitian.
Pelayanan Informasi Obat (PIO) didefinisikan sebagai
kegiatan penyediaan dan pemberian informasi, rekomendasi obat yang independen,
akurat, komprehensif, serta terkini oleh apoteker kepada pasien, masyarakat
maupun pihak yang memerlukan (Anonim, 2006). Unit ini dituntut untuk dapat
menjadi sumber terpercaya bagi para pengelola dan pengguna obat, sehingga
mereka dapat mengambil keputusan dengan lebih mantap (Juliantini dan Widayanti,
1996).
Adapun ciri-ciri pelayanan informasi obat meliputi:
a.
Mandiri
(bebas dari segala bentuik keterikatan),
b.
Objektif
(sesuai dengan kebutuhan),
c.
Seimbang,
d.
Ilmiah,
e.
Berorientasi
kepada pasien dan pro aktif.
2.2
Ruang Lingkup
Pelayanan Informasi Obat
Ruang
lingkup jenis pelayanan informasi rumah sakit di suatu rumah sakit, antara lain:
a.
Pelayanan Informasi Obat untuk
Menjawab Pertanyaan
Penyedia informasi obat berdasarkan
permintaan, biasanya merupakan salah satu pelayanan yang pertama
dipertimbangkan. Pelayanan seperti ini memungkinkan penanya dapat memperoleh
informasi khusus yang dibutuhkan tepat pada waktunya. Sumber informasi dapat
dipusatkan dalam suatu sentra informasi obat di instalasi farmasi rumah sakit.
b.
Pelayana Informasi Obat untuk
Evaluasi Penggunaan Obat
Evaluasi penggunaaan obat adalah
suatu program jaminan mutu pengguna obat di suatu rumah sakit. Suatu program
evaluasi penggunaan obat memerlukan standar atau kriteria penggunaan obat yang
digunakan sebagai acuan dalam mengevaluasi ketepatan atau ketidak tepatan
penggunaan obat. Oleh karena itu, biasanya apoteker informasi obat memainkan
peranan penting dalam pengenbangan standar atau criteria penggunaan obat.
c.
Pelayanan Informasi Obat dalam Studi
Obat Investigasi
Obat
investigasi adalah obat yang dipertimbangkan untuk dipasarkan secara komersial,
tetapi belum disetujui oleh BPOM untuk digunakan pada manusia. Berbagai
pendekatan untuk mengadakan pelayanan ini bergatung pada berbagai sumber rumah
sakit. Tanggung jawab untuk mengkoordinasikan penambahan, pengembangan, dan
penyebaran informasi yang tepat untuk obat investigasi terletak pada suatu
pelayanan informasi obat.
d.
Pelayanan Informasi Obat untuk
Mendukung Kegiatan Panitia Farmasi dan Terapi
Partisipasi aktif dalam panitia ini
merupakan peranan instalasi farmasi rumah sakit yang vital dan berpengaruh
dalam proses penggunaan obat dalam rumah sakit. Hal ini dapat disiapkan dengan
memadai oleh suatu pelayanan informasi obat.
e.
Pelayanan Informasi Obat dalam
bentuk publikasi
Upaya mengkomunikasikan informasi
tentang kebijakan penggunaan obat dan perkembangan mutakhir dalam pengobatan
yang mempengaruhi seleksi obat adalah suatu komponen penting dari pelayanan
informasi obat. Untuk mencapai sasaran itu, bulletin farmasi atau kartu
informasi yang berfokus kepada suatu golongan obat, dapat dipublikasikan dan
disebarkan kepada professional kesehatan (Siregar, 2004).
2.3
Tujuan dan
Prioritas Pelayanan Informasi Obat
a.
Tujuan
Pelayanan Informasi Obat
1.
Mendorong penggunaan obat secara:
a)
Efektif
Efektif yaitu tercapainya tujuan terapi secara optimal,
termasuk juga efektivitas biaya, yang ditandai dengan keluaran positif lebih
besar daripada keluaran negatif.
b)
Aman
Aman berarti bahwa efek obat yang merugikan dapat
diminimalkan dan tidak membahayakan pasien.
c)
Rasional
Rasional yaitu bahwa pengobatan dapat
dipertanggungjawabkan secara ilmiah, sehingga dengan adanya pelaksanaan
pelayanan informasi obat diharapkan obat yang diberikan kepada pasien dapat
memenuhi kriteria, yaitu tepat pasien, tepat dosis, tepat rute pemberian dan tepat cara penggunaan.
2.
Menyediakan
dan memberikan informasi obat kepada pasien, tenaga kesehatan, dan pihak lain.
3.
Menyediakan
informasi untuk membuat kebijakan-kebijakan yang berhubungan dengan obat
terutama bagi PFT/KFT (Panitia/Komite Farmasi dan Terapi).
b.
Proritas
Pelayanan Informasi Obat
Sasaran
utama pelayanan informasi obat adalah penyempurnaan perawatan pasien melalui
terapi obat yang rasional.Oleh karena itu, prioritas harus diberikan kepada
permintaan informasi obat yang paling mempengaruhi secara langsung pada
perawatan pasien. Proritas untuk permintaan informasi obat diurutkan sebagai
berikut :
1.
Penanganan/pengobatan
darurat pasien dalam situasi hidup atau mati.
2.
Pengobatan
pasien rawat tinggal dengan masalah terapi obat khusus.
3.
Pengobatan
pasien ambulatory dengan masalah terapi obat khusus.
4. Bantuan kepada staf professional
kesehatan untuk penyelesaian tanggung jawab mereka.
5. Keperluan dari berbagai fungsi PFT.
6. Berbagai
proyek penelitian yang melibatkan penggunaan obat.
2.4
Fungsi
Pelayanan Informasi Obat
Fungsi
pelayanan informasi obat antara lain:
a. Menyediakan informasi mengenai obat
kepada pasien dan tenaga kesehatan dilingkungan rumah sakit,
b. Menyediakan informasi untuk membuat
kebijakan kebijakan yang berhubungan dengan obat, terutama bagi Komite Farmasi
dan Terapi,
c. Meningkatkan profesionalisme apoteker,
d. Menunjang terapi obat yang rasional,
e. Meningkatkan keberhasilan pengobatan.
2.5
Langkah-Langkah
Pelayanan Informasi Obat
Langkah-langkah sistematis
pemberian informasi obat oleh petugas PIO :
a. Penerimaan permintaan Informasi Obat:
mencatat data permintaan informasi dan mengkategorikan permasalahan: aspek
farmasetik (identifikasi obat, perhitungan farmasi, stabilitas dan toksisitas
obat), ketersediaan obat, harga obat, efek samping obat, dosis obat, interaksi
obat, farmakokinetik, farmakodinamik, aspek farmakoterapi, keracunan,
perundang-undangan.
b. Mengumpulkan latar belakang masalah yang
ditanyakan: menanyakan lebih dalam tentang karakteristik pasien dan menanyakan
apakah sudah diusahakan mencari informasi sebelumnya
c. Penelusuran sumber data : rujukan umum,
rujukan sekunder dan bila perlu rujukan primer.
d. Formulasikan jawaban sesuai dengan
permintaan : jawaban jelas, lengkap dan benar, jawaban dapat dicari kembali
pada rujukan asal dan tidak boleh memasukkan pendapat pribadi.
e. Pemantauan dan Tindak Lanjut :
menanyakan kembali kepada penanya manfaat informasi yang telah diberikan baik
lisan maupun tertulis (Juliantini dan Widayati, 1996). Langkah-langkah
sistematis tersebut dapat di gambarkan pada gambar 1.

Gambar
1. Alur menjawab pertanyaan dalam pelayanan informasi obat (Anonim, 2006).
Gambar 1 dapat dijelaskan bahwa
penanya berada di ruang PIO, petugas mengisi formulir mengenai klasifikasi,
nama penanya dan pertanyaan yang ditanyakan, setelah itu petugas menanyakan
tentang informasi latar belakang penyakit mulai muncul, petugas melakukan
penelusuran sumber data dengan mengumpulkan data yang ada kemudian data
dievaluasi. Formulir jawaban didokumentasikan oleh petugas baru kemudian
dikomunikasikan kepada penanya.
2.6
Sumber
Informasi Obat
a. Sumber
daya, meliputi :
1. Tenaga
kesehatan
Tenaga kesehatan seperti dokter, apoteker, dokter
gigi, tenaga kesehatan lain merupakan sumber informasi obat.
2. Pustaka
Terdiri
dari majalah ilmiah, buku teks, laporan penelitian dan Farmakope.
3. Sarana
Fasilitas
ruangan, peralatan, komputer, internet, dan perpustakaan.
4. Prasarana
Industri
farmasi, Badan POM, Pusat informasi obat, Pendidikan tinggi farmasi,
Organisasi profesi (dokter, apoteker, dan lain-lain).
5. Sumber informasi lainnya
Selain sumber informasi yang sudah disebutkan
diatas, masih terdapat beberapa sumber informasi obat lainnya. Diantaranya
informasi obat dari media massa, leaflet, brosur, etiket dan informasi yang
berasal dari seorang Medical
Representative.
b. Pustaka
sebagai sumber informasi obat
Sumber informasi obat adalah Buku
Farmakope Indonesia, Informasi Spesialite Obat Indonesia (ISO), Informasi Obat
Nasional Indonesia (IONI), Farmakologi
dan Terapi, serta buku-buku lainnya. Informasi obat juga dapat diperoleh dari
setiap kemasan atau brosur obat yang berisi:
1.
Nama dagang obat jadi
2.
Komposisi
3.
Bobot, isi atau jumlah tiap wadah
4.
Dosis pemakaian
5.
Cara pemakaian
6.
Khasiat atau kegunaan
7.
Kontra indikasi (bila ada)
8.
Tanggal kadaluarsa
9.
Nomor ijin edar/nomor regristasi
10. Nomor kode
produksi
11. Nama dan alamat
industry
Sumber informasi obat mencakup
dokumen, fasilitas, lembaga dan manusia. Dokumen mencakup pustaka farmasi dan
kedokteran, terdiri atas majalah ilmiah, buku teks, laporan penelitian dan
farmakope. Fasilitas mencakup fasilitas ruangan, peralatan computer, internet,
perpustakaan dan lain-lain. Lembaga mencakup industry farmasi, Badan POM, pusat
informasi obat, pendidikan tinggi farmasi, organisasi profesi dokter dan
apoteker. Manusia mencakup dokter, dokter gigi, perawat, apoteker dan
professional kesehatan lainnya di rumah sakit. Apoteker yang ,emgadakan
pelayanan informasi obat harus mempelajari juga cara terbaik menggunakan
berbagai sumber tersebut. Pustaka obat digolongkan dalam 3 (tiga) kategori,
yaitu:
1. Pustaka
primer
Artikel
asli yang dipublikasikan penulis atau peneliti, informasi yang terdapat
didalamnya berupa hasil penelitian yang diterbitkan dalam jurnal ilmiah.
Contoh
pustaka primer :
a) Laporan
hasil penelitian
b) Laporan
kasus
c) Studi
evaluative
d) Laporan
deskriptif
2. Pustaka
sekunder
Berupa
sistem indeks yang umumnya berisi kumpulan abstrak dari berbagai kumpulan
artikel jurnal. Sumber informasi sekunder sangat membantu dalam proses
pencarian informasi yang terdapat dalam sumber informasi
primer. Sumber informasi ini dibuat dalam berbagai data base, contoh
: medline yang berisi abstrak-abstrak tentang terapi obat, International Pharmaceutikal Abstract yang berisi abstrak penelitian
kefarmasian, Pharmline (Kurniawan dan
Chabib, 2010).
3. Pustaka
tersier
Berupa
buku teks atau data base, kajian artikel, kompendia dan pedoman praktis.
Pustaka tersier umumnya berupa buku referensi yang berisi materi yang
umum, lengkap dan mudah dipahami (Anonim, 2006). Menurut undang-undang
No.23 tahun 1992 tentang kesehatan, pasal 53 ayat 2 menyatakan bahwa
Standar profesi adalah pedoman yang harus dipergunakan sebagai petunjuk dalam menjalankan profesi secara baik. Tenaga
kesehatan yang berhadapan dengan pasien seperti dokter dan perawat, dalam
melaksanakan tugasnya harus menghormati hak pasien. Yang dimaksud dengan
hak pasien antara lain ialah hak informasi, hak untuk memberikan persetujuan, hak atas rahasia
kedokteran, dan hak atas pendapat kedua.
2.7
Sasaran
Pelayanan Informasi Obat
Yang dimaksud dengan sasaran
informasi obat adalah orang, lembaga, kelompok orang, kepanitiaan, penerima
informasi obat, seperti dibawah ini :
1. Dokter
Dalam proses
penggunaan obat, pada tahap pemilihan obat serta regimennya untuk seorang
pasien tertentu, dokter memerlukan informasi dari apoteker agar ia dapat
membuat keputusan yang rasional. Informasi obat diberikan langsung oleh
apoteker, menjawab pertanyaan dokter melalui telepon atau sewaktu apoteker
menyertai tim medis dalam kunjungan ke ruang perawatan pasien atau dalam
konferensi staf medis (Siregar, 2004).
2. Perawat
Dalam tahap
penyampaian atau distribusi obat dan rangkaian proses penggunaan obat, apoteker
memberikan informasi obat tentang berbagai aspek obat pasien, terutama tentang
pemberian obat. Perawat adalah professional kesehatan yang paling banyak
berhubungan dengan pasien, karena itu perawatlah yang umumnya mengamati reaksi
obat merugikan atau mendengan keluhan mereka.Apoteker adalah yang paling siap,
berfungsi sebagai sumber informasi bagi perawat.Informasi yang dibutuhkan
perawat pada umumnya harus praktis dan ringkas misalnya frekuensi pemberian
dosis, metode pemberian obat, efek samping yang mungkin, penyimpanan obat,
inkompatibilitas campuran sediaan intravena dan sebagainya (Siregar, 2004).
3. Pasien dan keluarga pasien
Informasi yang
dibutuhkan pasien dan keluarga pasien pada umumnya adalah informasi praktis dan
kurang ilmiah dibandingkan dengan informasi yang dibutuhkan professional
kesehatan. Informasi obat untuk PRT diberikan apoteker sewaktu menyertai
kunjungan tim medis ke ruang perawatan, sedangkan untuk pasien rawat jalan,
informasi diberikan sewaktu penyerahan obat. Informasi obat untuk
pasien/keluarga pasien pada umumnya mencakup cara penggunaan obat, jangka waktu
penggunaan, pengaruh makanan pada obat, penggunaan obat bebas dikaitkan dengan
resep obat dan sebagainya (Siregar, 2004).
4. Apoteker
Setiap apoteker
rumah sakit masing masing mempunyai tugas atau fungsi tertentu, sesuai dengan
pendalaman pengetahuan pada bidang tertentu.Apoteker yang langsung berinteraksi
dengan professional kesehatan dan pasien, sering menerima pertanyaan mengenai
informasi obat dan pertanyaan yang tidak dapat dijawabnya dengan segera,
diajukan kepada sejawat apoteker yang lebih mendalami pengetahuan informasi
obat.Apoteker di apotek dapat meminta bantuan informasi obat kepada sejawat di
rumah sakit (Siregar, 2004).
5. Kelompok, Tim, Kepanitiaan dan Peneliti
Selain kepada
perorangan, apoteker juga memberikan informasi obat kepada kelompok
professional kesehatan, misalnya mahasiswa, masyarakat, peneliti dan
kepanitiaan yang berhubungan dengan obat. Kepanitiaan dirumah sakit yang
memerlukan informasi obat antara lain : panitia farmasi dan terapi, panitia
evaluasi penggunaan obat, panitia sistem pemantauan kesalahan obat, panitia
sistem pemantauan dan pelaporan reaksi obat merugikan, tim pengkaji penggunaan
obat retrospektif, tim program pendidikan “in service” dan sebagainya (Siregar,
2004).
2.8
Metode
Pelayanan Informasi Obat
Metode pelayanan informasi obat menurut Direktorat jendral pelayanan
kefarmasian dan alat kesehatan Departemen Kesehatan RI 2006 yaitu:
a.
Pelayanan
informasi obat dilayani oleh apoteker selama 24 jam atau on call disesuaikan
dengan kondisi rumah sakit.
b.
Pelayanan
informasi obat dilayani oleh apoteker pada jam kerja, sedang diluar iam kerja
dilayani oleh apoteker instalasi farmasi yang sedang tugas jaga.
c.
Pelayanan
informasi obat dilayani oleh apoteker pada jam kerja, dan tidak ada pelayanan
informasi obat diluar jam kerja.
d.
Tidak
ada petugas khusus pelayanan informasi obat, dilayani oleh semua apoteker
instalasi farmasi, baik pada jam kerja maupun diluar jam kerja.
e.
Tidak
ada apoteker khusus, pelayanan informasi obat dilayani oleh semua apoteker
instalasi farmasi di jam kerja dan tidak ada pelayanan informasi obat diluar
jam kerja.
2.9
Strategi Pencarian Informasi Secara Sistemik
Proses menjawab pertanyaan yang diuraikan dibawah ini adalah
suatu pendekatan yang sebaiknya digunakan oleh apoteker di rumah sakit.
a. Mengetahui
pertanyaan sebenarnya
Menetapkan informasi obat sebenarnya yang dibuthkan penanya
adalah langkah pertama dalam menjawab suatu pertanyaan. Hal ini dapat dilakukan
dengan menggolongkan jenis penaya, seperti dokter, apoteker, perawat, dan
sebagainya, serta informasi latar belakang yang perlu (Siregar, 2004).
Penggolongan penanya dapat dilakukan secara otomatis jika
penanya memperkenalkan dirinya, tetapi kadang-kadang apoteker harus menanyakan,
terutama jika berkomunikasi melalui telepon. Dengan mengetahui jenis penanya,
akan membantu apoteker dalam memberikan jawaban yang benar-benar ia perlukan
(Siregar, 2004).
b. Mengumpulkan
data khusus pasien
Apabila pertanyaan melibatkan seorang pasien, adalah penting
untuk memperoleh informasi latar belakang tentang pasien sebelum menjawab suatu
pertanyaan yang berbeda-beda sesuai dengan jenis pertanyaan. Umur, bobot, jenis
kelamin biasanya diperlukan. Kekhususan tentang kondisi medis pasien seperti
diagnosis sekarang, fungsi ginjal dan hati, sering diperlukan. Dalam beberapa
kasus diperlukan juga sejarah obat yang lengkap (Siregar, 2004).
Pentingnya pengambilan sejarah obat pasien telah benar-benar
dimengerti oleh dokter dan perawat. Apoteker harus memiliki keterampilan dalam
pengambilan sejarah obat berdasarkan dua alasan dari sudut pandang penyediaan
informasi obat, yaitu:
1) Untuk
memberi apoteker pengertian yang lebih baik tentang permintaan informasi
sebenarnya dengan keadaan permintaan, agar apoteker dapat mencari dan
menyediakan jawaban.
2) Untuk
memungkinkan apoteker menyajikan jawaban yang lebih berguna dan sesuai untuk
keadaan klinik tertentu (Siregar, 2004)
c. Pencarian
secara sistemik
Pada dasarnya, dalam suatu pencarian sistemik, apoteker
harus berusaha memperoleh jawaban dalam referensi acuan tersier terlebih
dahulu. Jawaban biasanya dapat diperoleh, tetapi jika jawaban tidak dapat,
apoteker bergerak ke langkah berikutnya (Siregar, 2004).
Pencarian informasi secara sistematik dapat meminimalkan
kesempatan melalaikan sumber penting dan kehilangan perspektif. Masalah ini
dapat terjadi terutama pada apoteker tanpa pengalaman praktid atau tanpa
ketrampilan klinik lanjutan. Tanpa menghiraukan pengalaman, biasanya apoteker
dapat memperoleh manfaat dari membaca pendahuluan atau latar belakang
persiapan, terutama jika apoteker tidak memahami pertanyaan (Siregar, 2004).
2.10
Metode
Menjawab Pertanyaan Informasi
Pada
umumnya, ada dua jenis metode utama untuk menjawab pertanyaan informasi, yaitu
komunikasi lisan dan tertulis. Apoteker, perlu memutuskan kapan suatu jenis
dari metode itu digunakan untuk menjawab lebih tepat daripada yang lain. Dalam
banyak situasi klinik, jawaban oral biasanya diikuti dengan jawaban tertulis.
a. Jawaban
tertulis
Jawaban
tertulis merupakan dokumentasi informasi tertentu yang diberikan kepada penanya
dan menjadi suatu rekaman formal untuk penanya dan responden. Keuntungan dari
format tertulis adalah memungkinkan penanya untuk membaca ulang informasi
jawaban tersebut dan secara pelan-pelan mengintepretasikan jawaban tersebut.
Komunikasi tertulis juga memungkinkan apoteker untuk menerangkan sebanyak
mungkin informasi dalam keadaan yang diinginkan tanpa didesak penanya. Jawaban
tertulis dapat mengakomodasi tabel, grafik, dan peta untuk memperlihatkan data
secara visual (Siregar, 2004).
b. Jawaban
lisan (oral)
Setelah
ditetapkan bahwa jawaban lisan adalah tepat, apoteker perlu memutuskan jenis
metode jawaban lisan yang digunakan. Ada dua jenis metode menjawab secara
lisan, yaitu komunikasi tatap muka dan komunikasi telepon. Komunikasi tatap
muka lebih disukai, jika apoteker mempunyai waktu dan kesempatan untuk
mendiskusikan temuan informasiobat dengan penanya (Siregar, 2004).
2.11
Kategori Pelayanan Informasi Obat
a.
Menjawab pertanyaan spesifik yang diajukan melalaui telpon, surat atau
tatap muka,
b.
Menyiapkan materi brosur atau leflet informasi obat (pelayanan cetak ulang
atau re print),
c.
Konsultasi tentang cara penjagaan terhadap reaksi ketidakcocokan obat,
konsep-konsep obat yang sedang dalam penelitian atau peninjauan penggunaan
obat-obatan,
d.
Mendukung kegiatan panitia farmasi terapi dalam menyusun formularium rumah
sakit dan meninjau terhadap obat-obat baru yang diajukan untuk masuk dalam
formularium rumah sakit.
2.12
Dokumentasi
Pelayanan Informasi Obat
Setelah
terjadi interaksi antara penanya dan pemberi jawaban, maka kegiatan
tersebut harus didokumentasikan. Manfaat dokumentasi adalah:
a. Mengingatkan
apoteker tentang informasi pendukung yang diperlukan dalam menjawab
pertanyaan dengan lengkap.
b. Sumber
informasi apabila ada pertanyaan serupa
c. Catatan
yang mungkin akan diperlukan kembali oleh penanya
d. Media
pelatihan tenaga farmasi
e. Basis
data penelitian, analisis, evaluasi, dan perencanaan layanan.
f. Bahan
audit dalam melaksanakan Quality Assurance dari pelayanan informasi obat (Anonim, 2006).
2.13
Evaluasi
Kegiatan
Evaluasi ini digunakan untuk
menilai atau mengukur keberhasilan pelayanan informasi obat itu sendiri dengan
cara membandingkan tingkat keberhasilan sebelum dan sesudah dilaksanakan
pelayanan informasi obat (Anonim, 2006).
Untuk mengukur tingkat keberhasilan
penerapan pelayanan informasi obat, indikator yang dapat digunakan antara lain:
a.
Meningkatkan
jumlah pertanyaan yang diajukan,
b.
Menurunnya
jumlah pertanyaan yang tidak dapat dijawab,
c.
Meningkatnya
kualitas kinerja pelayanan,
d.
Meningkatnya
jumlah produk yang dihasilkan (leflet, buletin, ceramah),
e.
Meningkatnya
pertanyaan berdasarkan jenis pertanyaan dan tingkat kesulitan,
f.
Menurunnya
keluhan atas pelayanan (Anonim, 2006).
2.14
Konseling
A. Definisi Konseling
Salah satu
interaksi antara apoteker dengan pasien adalah melalui konseling obat.
Konseling obat sebagai salah satu cara atau metode pengetahuan pengobatan
secara tatap muka atau wawancara merupakan usaha untuk meningkatkan pengetahuan
dan pemahaman pasien dalam penggunaan obat.
Konseling
berasal dari kata counsel yang artinya saran, melakukan diskusi dan pertukaran
pendapat. keyakinan akan kemampuannya dalam pemecahan masalah. Konseling adalah suatu kegiatan
bertemu dan berdiskusi antara orang yang membutuhkan (klien) dan orang yang
memberikan (konselor) dukungan dan dorongan sedemikian rupa sehingga klien
memperoleh keyakinan akan kemampuannya dalam pemecahan masalah (Depkes RI,
2006).
Konseling
pasien merupakan bagian tidak terpisahkan dalam elemen kunci dari pelayanan
kefarmasian, karena Apoteker sekarang ini tidak hanya melakukan kegiatan
compounding dan dispensing saja, tetapi juga harus berinteraksi dengan pasien
dan tenaga kesehatan lainnya dimana dijelaskan dalam konsep Pharmaceutical
Care (Depkes RI, 2006).
Konseling obat adalah penyampaian
dan memberitahukan nasehat-nasehat yang berkaitan dengan obat, yang didalamnya
terdapat diskusi timbal balik suatu pendapat atau opini (Siregar, 2004).
Dapat disimpulkan bahwa pelayanan
konseling pasien adalah suatu pelayanan farmasi yang mempunyai tanggung jawab
etikal serta medikasi legal untuk memberikan informasi dan edukasi mengenai
hal-hal yang berkaitan dengan obat (Depkes RI, 2006).
Kegiatan konseling dapat diberikan atas
inisiatif langsung dari apoteker mengingat perlunya pemberian konseling karena
pemakaian obat-obat dengan cara penggunaan khusus, obat-obat yang membutuhkan
terapi jangka panjang sehingga perlu memastikan untuk kepatuhan pasien meminum
obat. Konseling yang diberikan atas inisiatif langsung dari apoteker
disebut konseling aktif. Selain
konseling aktif dapat juga konseling
terjadi jika pasien datang untuk berkonsultasi kepada apoteker untuk
mendapatkan penjelasan tentang segala sesuatu yang berhubungan dengan obat dan
pengobatan, bentuk konseling seperti ini disebut konseling pasif (Depkes RI,
2006).
Menurut
KEPMENKES RI No. 1027/MENKES/SK/IX/2004 tentang Standar Pelayanan Kefarmasian
di apotek, konseling adalah suatu proses komunikasi dua arah
yang sistematik antara apoteker dan pasien untuk mengidentifikasi dan
memecahkan masalah yang berkaitan dengan obat dan pengobatan. Melalui
konseling, apoteker dapat mengetahui kebutuhan pasien saat ini dan yang akan
datang. Apoteker dapat memberikan informasi kepada pasien apa yang perlu
diketahui oleh pasien, keterampilan apa yang harus dikembangkan dalam diri
pasien, dan masalah yang perlu di atasi. Selain itu, apoteker diharapkan dapat
menentukan perilaku dan sikap pasien yang perlu diperbaiki.
B. Tujuan Konseling
1.
Tujuan Umum
a.
Meningkatkan keberhasilan terapi
yang dijalani,
b.
Memaksimalkan efek terapi,
c.
Mengurangi resiko efek samping,
d.
Meningkatkan cost effectiveness,
e.
Menghormati pilihan penderita dalam
menjalankan terapinya (Depkes RI, 2006).
2.
Tujuan Khusus
a.
Meningkatkan
hubungan kepercayaan antara apoteker dengan pasien,
b.
Menunjukkan
perhatian serta kepedulian terhadap pasien,
c.
Membantu pasien
untuk mengatur dan terbiasa dengan obatnya,
d.
Membantu pasien
untuk mengatur dan menyesuaikan dengan penyakitnya,
e.
Meningkatkan
kepatuhan pasien dalam menjalani pengobatan,
f.
Mencegah atau
meminimalkan Drug Related Problem,
g.
Meningkatkan
kemampuan pasien untuk memecahkan masalahnya sendiri dalam hal terapi,
h.
Mengerti
permasalahan dalam pengambilan keputusan,
i.
Membimbing dan
mendidik pasien dalam menggunakan obat sehingga dapat mencapai tujuan
pengobatan dan meningkatkan mutu pengobatan pasien (Depkes RI, 2006).
C. Manfaat Konseling
1.
Bagi Pasien
a.
Menjamin
keamanan dan efektifitas pengobatan,
b.
Mendapatkan
penjelasan tambahan mengenai penyakitnya,
c.
Membantu dalam
merawat atau perawatan kesehatan sendiri,
d.
Membantu
pemecahan masalah terapi dalam situasi tertentu,
e.
Menurunkan
kesalahan penggunaan obat,
f.
Meningkatkan
kepatuhan dalam menjalankan terapi,
g.
Menghindari
reaksi obat yang tidak diinginkan,
h.
Meningkatkan
efektivitas & efisiensi biaya kesehatan.
2.
Bagi Apoteker
a.
Menjaga citra
profesi sebagai bagian dari tim pelayanan kesehatan,
b.
Mewujudkan
bentuk pelayanan asuhan kefarmasian sebagai tanggung jawab profesi apoteker,
c.
Menghindarkan
apoteker dari tuntutan karena kesalahan penggunaan obat ( Medication error ),
d.
Suatu pelayanan
tambahan untuk menarik pelanggan sehingga menjadi upaya dalam memasarkan jasa pelayanan
(Depkes RI, 2006).
D. Prinsip Dasar Konseling
Prinsip dasar konseling adalah terjadinya kemitraan atau korelasi antara pasien
dengan apoteker sehingga terjadi perubahan perilaku pasien secara sukarela. Pendekatan
Apoteker dalam pelayanan konseling mengalami perubahan model pendekatan dari
pendekatan “Medical Model” menjadi Pendekatan “Helping model”.
Hal-hal yang perlu diperhatikan oleh apoteker
tertera dalam tabel berikut:
Medical
Model |
Helping
Model |
1. Pasien passive
|
1. Pasien terlibat secara aktif
|
2. Dasar kepercayaan ditunjukkan
berdasarkan citra profesi |
2. Kepercayaan didasarkan dari
hubungan pribadi yang berkembang setiap saat |
3. Mengidentifikasi masalah dan
menetapkan solusi |
3. Menggali semua masalah dan
memilih
cara pemecahan masalah |
4. Pasien bergantung pada petugas
kesehatan |
4. Pasien mengembangkan rasa
percaya
dirinya untuk memecahkan masalah |
5. Hubungan seperti ayah-anak
|
5. Hubungan setara (seperti teman)
|
E.
Hal-hal
yang perlu diperhatikan dalam konseling
Hal-hal
yang perlu diperhatikan dalam melakukan konseling antara lain
adalah:
1. Manajemen
Ruang Konseling
Manajemen
ruang dapat didefinisikan sebagai usaha penataan dan pengelolaan ruang agar
setiap orang yang berada dalam suasana yang nyaman, kondusif bagi perwujudan
dirinya secara sehat, sehingga bisa melakukan berbagai 8 tugas secara efektif,
efisien, dan produktif. Dalam hal konseling diperlukan ruang khusus, karena
dapat meningkatkan penerimaan pasien terhadap informasi konseling yang
diberikan, sehingga pasien kemungkinan bisa patuh terhadap regimen obat, dan
memberikan kepuasan pada pelayanan ini (Surya, 2003).
2.
Efektivitas Konseling
Hal-hal
yang mempengaruhi efektivitas konseling antara lain adalah durasi konseling,
tingkat keparahan penyakit yang diderita pasien, motivasi apoteker dan pasien
selama konseling berlangsung, pengetahuan apoteker terhadap materi yang akan
diberikan kepada pasien, kemampuan apoteker dalam menimbulkan rasa nyaman atau
suasana yang kondusif selama proses konseling berlangsung, sehingga pasien bisa
dengan mudah memahami materi yang disampaikan (Surya, 2003).
3. Kompetensi
Apoteker
Kompetensi tersebut meliputi pengetahuan
profesi, kemampuan berkomunikasi. Kompetensi apoteker mampu memberikan
kepercayaan pasien terhadap informasi yang diberikan, sehingga apoteker dapat
memberikan pelayanan konseling secara efektif.
4. Keterbatasan
yang Dimiliki Pasien
Keterbatasan pasien dapat
dikelompokkan menjadi keterbatasan fungsional dan emosi. Keterbatasan
fungsional mengakibatkan pasien susah untuk menerima dan memahami isi materi
yang disampaikan oleh apoteker. Keterbatasan fungsional dibagi menjadi 3
kategori:
a. Keterbatasan
visual dan pendengaran,
b. Keterbatasan
bahasa,
c. Kesulitan
memahami pada pasien dengan gangguan kejiwaan, atau keterbelakangan mental.
F.
Kendala Konseling
Berbagai kendala dalam memberikan konseling dapat terjadi pada proses pengobatan dan pemberian konseling.
1.
Kendala yang
berasal dari pasien
Kendala yang berasal dari pasien antara lain
adalah perasaan marah, malu, sedih, takut, ragu-ragu. Hal ini dapat diatasi
dengan bersikap empathy, mencari sumber timbulnya masalah tersebut, tetap
bersikap terbuka dan siap membantu.
2.
Kendala yang
berasal dari latar belakang pendidikan budaya dan bahasa
Kendala yang
berasal dari latar belakang pendidikan budaya dan bahasa kendala
dapat diatasi dengan menggunakan istilah sederhana dan dapat dipahami,
berhati-hati dalam menyampaikan hal yang sensitif, atau menggunakan penerjemah.
3.
Kendala yang
berasal dari fisik dan mental
Kendala yang
berasal dari fisik dan mental dapat diatasi dengan upaya menggunakan alat bantu
yang sesuai atau melibatkan orang yang merawatnya.
4.
Kendala yang berasal
dari tenaga farmasi
Kendala yang
berasal dari tenaga farmasi dapat berupa mendominasi percakapan, menunjukan
sikap yang tidak memberikan perhatian dan tidak mendengarkan apa yang pasien
sampaikan, cara berbicara yang tidak sesuai (terlalu keras, sering mengulang
suatu kata), menggunakan istilah yang terlalu teknis yang tidak dipahami
pasien, sikap dan gerakan badan yang tidak sesuai yang dapat mengganggu
konsentrasi pasien, sedikit atau terlalu banyak melakukan kontak mata dengan
pasien. Bila ini terjadi pada upaya mengatasinya adalah dengan memberikan
pasien kesempatan untuk menyampaikan masalahnya dengan bebas menunjukan kepada
pasien bahwa apa yang disampaikannya didengarkan dan diperhatikan melalui
sesekali anggukan kepala, kata ya dan sikap badan yang cenderung ke arah
pasien,. Menyesuaikan volume suara dan mengurangi kebiasaan mengeluarkan
kata-kata yang mengesankan gugup dan tidak siap, menghindari pemakaian istilah
yang tidak dipahami oleh pasien, tidak menyilangkan kedua tangan dan menghindari
gerakan berulang yang tidak pada tempatnya dan menjaga kontak mata dengan
pasien.
BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Kesimpulan
yang dapat diambil dari makalah ini adalah sebagai berikut:
a.
Pelayanan
informasi obat merupakan
kegiatan pelayanan yang dilakukan oleh apoteker untuk memberi informasi secara
akurat, tidak biasa dan terkini kepada dokter, apoteker, perawat, profesi
kesehatan lainnya dan pasien.
b.
Adapun
tujuan pelayanan informasi obat yaitu, menunjang ketersediaan dan penggunaan
obat yang rasional, berorientasi pada pasien, tenaga kesehatan, dan pihak lain.
menyediakan dan memberikan informasi obat kepada pasien, tenaga kesehatan, dan
pihak lain.
c.
Langkah-langkah
sistematis pemberian informasi obat oleh petugas PIO yaitu penerimaan
permintaan informasi obat, mengumpulkan latar belakang masalah yang ditanyakan,
penelusuran sumber data, formulasikan jawaban sesuai dengan permintaan,
pemantauan dan tindak lanjut.
d.
Sasaran pelayanan informasi obat yaitu kepada dokter, perawat, pasien dan
keluaga pasien, apoteker, serta kelompok, tim, kepanitiaan dan peneliti.
e.
Evaluasi kegiatan PIO digunakan
untuk menilai atau mengukur keberhasilan pelayanan informasi obat itu
sendiri dengan cara membandingkan tingkatkeberhasilan sebelum dan sesudah
dilaksanakan pelayanan informasi obat.
f.
Konseling adalah suatu kegiatan
bertemu dan berdiskusi antara orang yang membutuhkan (klien) dan orang yang
memberikan (konselor) dukungan dan dorongan sedemikian rupa sehingga klien
memperoleh keyakinan akan kemampuannya dalam pemecahan masalah.
3.2 Saran
Penyusun mengharapkan kritik dan saran
dari pembaca untuk kebaikan kedepannya agar penyusun dapat menyajikan karya
tulis yang lebih baik lagi.
DAFTAR PUSTAKA
Anonim, 2004.Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia No.
1197/Menkes/SK/X/2004.Standar Pelayanan Farmasi di Rumah Sakit.Jakarta :
Kemenkes RI.
Anonim.
2006. Keputusan Direktur Jenderal Bina Kefarmasian Dan Alat Kesehatan
No.Hk.00.Dj.Ii.924 Tentang
Pembentukan Tim Penyusun Pedoman Pelayanan Kefarmasian Di Puskesmas.
Anonim. 2006. Pedoman
Konseling Pelayanan Kefarmasian Di Sarana Kesehatan. Jakarta: Depkes RI.
Anonim.
2006, Pedoman Pelayanan Informasi Obat Di Rumah Sakit. Dirjen Pelayanan
Kefarmasian dan Alat Kesehatan Depkes RI: Jakarta.
Juliantini, E. dan Widayanti, S.
1996. Pelayanan Informasi Obat Rumah Sakit Umum Daerah Dr Soetomo.
Prosiding Kongres Ilmiah XI ISFI, 3-6 juli 1996: Jawa Tengah.
Kurniawan, W.K., dan Chabib.L. 2010.
Pelayanan Informasi Obat Teori dan
Praktik. Yogyakarta: Graha Ilmu.
Siregar,
Charles. JP,. 2004. Farmasi Rumah
Sakit Teori dan Penerapan. Cetakan. I. Jakarta: Penerbit
EGC.
Siregar,
Charles. 2006. Farmasi Klinik, Teori dan
Penerapan.Jakarta : EGC.
Surya, Moh. 2003. Psikologi
Konseling.
Bandung: Pustaka Bani Quraisy.
Komentar
Posting Komentar